Mohon tunggu...
Fitri Dwi Yanti
Fitri Dwi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Opini: Agama Vs Logika?

24 November 2023   08:36 Diperbarui: 24 November 2023   09:10 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Logika dan agama membentuk hubungan dan sebenarnya bisa saling menguntungkan satu sama lain. Logika yang membentuk filsafat dan berkembang seiring waktu bisa dibagi kedalam empat aliran besar yaitu filsafat India, Cina, Islam dan Barat. Penyorotan utama adalah pada filsafat Islam yang mengutamakan rasionalisme dalam mengkaji agama. Hal ini menjadi bukti bahwa dalam agama juga ada aliran yang mengutamakan rasionalisme dan empirisme. Ajaran filsafat dan agama juga menghasilkan banyak aliran yang beragam. Banyak yang berpendapat bahwa kaum atheis atau agnostik lahir pada zaman kegelapan tahun 500-1000 M di Eropa. Pada saat ini, kaum gereja mendominasi dan malah melakukan banyak penyimpangan demi mencapai tujuan kelompoknya. Salah satu penyimpangan tersebut seperti surat penebusan dosa yang tidak masuk diakal. Banyak revolusi atau pembaruan setelah itu misalnya Martin Luther yang membuat aliran Kristen baru yaitu Kristen protestan. Ajaran filsafat dan agama menghasilkan banyak aliran yang beragam. Pro kontra yang terjadi setiap waktu antar cendekiawan merupakan bukti bahwa para ahli terus melakukan kegiatan berfikir dan mengevaluasi teori dan konsepsi yang ada. Ilmu pengetahuan akan terus berkembang jika mereka saling melengkapi dan mentoleransi satu sama lain. 

Perdebatan antara logika dan agama menjadi topik yang menarik untuk dibahas dari waktu ke waktu. Perbedaan prinsip antar keduanya membuat mereka berada di jalan masing-masing. Mulai dari pernyataan Karl Marx yang mengatakan bahwa agama merupakan candu. Dalam buku Etika dan Filsafat Komunikasi diluruskan istilah yang selama ini menjadi keliru yaitu pernyataan dari Karl Marx yang berbunyi "religion is the opium of the people" lalu diubah menjadi "religion is the opium for the people". Versi pertama mencerminkan agama seakan menjadi alat bagi kaum rohani golongan kecil (pendeta atau alim agama) dalam menindas rakyat, bekerja sama dengan golongan besar (kapitalis). Dalam kenyataannya, Karl Marx mengatakan bahwa agama candu bagi rakyat adalah keadaan objektif didalam masyarakat. Agama membentuk struktur sosial yang tidak sehat dalam masyarakat. Banyak prinsip-prinsip agama yang ditentang oleh kaum logika seperti keberadaan Tuhan, kebebasan berperilaku, memakai pakaian terbuka, aturan pernikahan, sistem surga dan neraka dan masih banyak lagi. Menurut kaum logika, agama terlalu banyak larangan sehingga tidak mendukung kebebasan manusia. Agama berorientasi kepada masa depan dengan hukum tabur tuai (karma). Sistem surga-neraka juga menjadi ancaman tersendiri dan membuat hidup manusia menjadi lebih terkekang. Prinsip usaha antara kaum logika dan agama pun berbeda. Agama berpandangan bahwa hasil diberikan yang terbaik oleh Tuhan sedangkan kaum logika berpendapat bahwa hasil berbanding lurus dengan usaha yang telah dilakukan. Perbedaan prinsip antara kaum logika dan agama baik dari prinsip usaha, kebebasan berperilaku maupun kepercayaan adanya kehidupan setelah meninggal dunia inilah yang memberi jurang besar antara keduanya. 

Dalam jurnal When Beliefs and Logic Contradict: Issues of Values, Religion and Culture (avojov, 2018) menyebutkan bahwa peserta Kristen tampil lebih buruk dalam silogisme valid yang netral terutama di semua jenis silogisme yang tidak valid, di mana mereka berbeda 10% dari peserta non-religius. Hal ini menunjukkan bahwa ketika keyakinan dan bukti berbenturan, seringkali keyakinanlah yang menang. Tidak mengherankan bahwa orang-orang yang tidak terlatih dalam pemikiran kritis dan ilmiah menggunakan keyakinan sebagai acuan mereka dalam menavigasi melalui lautan luas dari banyak informasi yang saling bertentangan (mengklaim asal usul mereka dalam penelitian) dan banyak nilai yang saling bertentangan. Ditinjau dari sisi lainnya, agama merupakan sumber dari pengetahuan. Contoh nyatanya dalam salah satu agama yaitu Islam. Salah satu fakta tentang alam semesta sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran (kitab suci Islam) adalah bahwa langit terdiri atas tujuh lapisan. 

"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al Baqarah:29)

"Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya."(QS. Fussilat:11-12)

Kata "langit", yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Al Quran, digunakan untuk mengacu pada "langit" bumi dan juga keseluruhan alam semesta. Dengan makna kata seperti ini, terlihat bahwa langit bumi atau atmosfer terdiri dari tujuh lapisan. Saat ini benar benar diketahui bahwa atmosfer bumi terdiri atas lapisan lapisan yang berbeda yang saling bertumpukan. Lebih dari itu, persis sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran, atmosfer terdiri atas tujuh lapisan. Para ilmuwan menemukan bahwa atmosfer terdiri dari beberapa lapisan.  Lapisan-lapisan tersebut berbeda dalam ciri-ciri fisik, seperti tekanan dan jenis gasnya. Lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi disebut troposfer. Ia membentuk sekitar 90% dari keseluruhan massa atmosfer. Lapisan di atas troposfer disebut stratosfer. Lapisan ozon adalah bagian dari stratosfer di mana terjadi penyerapan sinar ultraviolet. Lapisan di atas stratosfer disebut mesosfer. Termosfer berada di atas mesosfer. Gas-gas terionisasi membentuk suatu lapisan dalam termosfer yang disebut ionosfer. Bagian terluar atmosfer bumi membentang dari sekitar 480 km hingga 960 km. Bagian ini dinamakan eksosfer (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 319-322 dalam Athar, M. (2019)). 

Dalam sisi lain, agama Kristen berusaha untuk tidak mengdikotomikan ilmu pengetahuan dengan agamanya tetapi justru justru menguatkan iman para anak didiknya melalui ilmu biologi yang diajarkan. Contoh pertama, kaum Kristen berusaha membedah teori evolusi Darwin (ateistik). Hal pertama yang harus dilakukan adalah evaluasi terhadap teori tersebut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa teori ini memiliki banyak kelemahan dan ketidaksesuaian dengan data fosil. Seleksi alam dan mutasi genetik (yang dibatasi oleh hukum alam dan jumlah materi yang ada dalam alam) tidak mampu membentuk organisme dalam berbagai fila yang baru sebagaimana yang ditemukan pada era Kambrium. Kedua, sebuah opsi yang lebih baik daripada konsep evolusi ateistik harus diajukan oleh pihak Kristen. Intelligent Design merupakan opsi yang dapat dipertanggungjawabkan, ilmiah, dan sesuai dengan bukti-bukti fosil. Intelligent Design memberi bukti bahwa makhluk hidup adalah hasil desain. Makhluk hidup tidak tercipta karena proses acak, melainkan karena sebuah perancangan. Hanya pribadi yang memiliki kecerdasanlah yang mampu menciptakan makhluk hidup. Apologetika terhadap konsep evolusi ateistik dengan Intelligent Design, diharapkan mampu menguatkan iman orang percaya dan membuat spiritualitas mereka semakin bertumbuh. 

Kita tidak akan berfokus mana yang paling benar ataupun bermanfaat tetapi kita akan melihat apakah kedua hal tersebut dapat hidup berdampingan dengan baik. Semua orang hidup dengan caranya sendiri dan tidak saling mengganggu. Mereka bisa menjadi masalah ketika tidak ada toleransi di antara keduanya. Meskipun terdapat perbedaan yang sangat besar yaitu logika yang mencari kebenaran melalui akal dan agama yang telah ditetapkan standar-standar kebenarannya,  hasil dari keduanya menghasilkan manfaat untuk peradaban manusia. Dengan demikian, logika dan agama membentuk suatu mutualisme dalam konteks ilmu pengetahuan. Nilai-nilai agama mengandung banyak informasi dan 'clue' dalam mengiringi berkembangnya ilmu pengetahuan. Agama tidak sekaku dan semonoton itu. Kemudia di sisi lain, car acara ilmiah yang dikembangkan oleh kaum logika seperti pendekatan, metode dan cara berpikir bisa digunakan untuk memahami sekaligus mengembangkan ilmu serta cara penafsiran teks-teks keagamaan sehingga menjadi lebih komprehensif untuk dipahami .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun