Sekarang, setelah semua yang terjadi, ada kekosongan yang terasa aneh dalam rutinitasku. Padahal, sebelumnya dia juga bukan seseorang yang selalu menghubungiku setiap hari. Tapi tak pernah sekalipun dia mengabaikan pesanku---hingga saat ini. Meskipun aku tahu mungkin dia sedang butuh waktu, hatiku tetap bertanya-tanya: apakah ini akhirnya? Bagaimana akhir dari semua ini?
Pagi-pagi, ketika dunia masih sepi dan hanya ada suara alam yang samar, aku mengambil ponselku dan mulai menulis pesan. Setiap kata menjadi secercah harapan, semacam penyejuk bagi hati yang masih berjuang menerima jarak ini.Â
Meski tak ada balasan, aku tetap melakukannya, membiarkan pesan-pesan itu menjadi pengingat untuknya dan afirmasi positif untuk diriku sendiri. Entah sampai kapan aku akan bertahan dengan rutinitas baru ini, tapi ada kedamaian tersendiri dalam upayaku ini.
Rindu ini sulit dijelaskan. Rasanya seperti berjalan dalam senja yang tak berujung. Apa yang pernah ada kini terasa menghilang, meninggalkan ruang kosong yang tak dapat kuisi. Dia pernah memintaku untuk selalu menjaga perasaanku, agar tak terlalu larut dalam harapan.Â
Sekarang, aku berharap bahwa dia juga menjaga perasaannya di sana, seperti yang aku lakukan di sini. Mungkin hanya perasaan seperti ini yang mampu membuatku bertahan, berharap suatu saat kami bisa bertemu lagi, dalam suasana yang lebih baik.
Di sini, aku menunggunya, di ruang penuh harapan yang kubangun dengan hati-hati. Mungkin dia tak pernah tahu bahwa setiap pesan yang kukirim di pagi hari adalah caraku untuk tetap merasa dekat dengannya, meski dari kejauhan. Semoga suatu hari, ketika dia membaca pesan itu, dia tahu bahwa aku menunggu. Dan ketika saat itu tiba, aku akan ada di sini, seperti yang selalu kulakukan---menjaga dan menunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H