Mohon tunggu...
Fitri Barokah
Fitri Barokah Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Saya seorang guru yang alhamdulillah sekarang diberi kesempatan untuk bergabung dengan salah satu rumah Qur'an di Bandung. Saya pendapatkan posisi sebagai asisten menejer trining, dan tugas utamanya ada dibidang training juga pembuatan kurikulum tahfidz. Saya senang belajar hal-hal baru yang belum pernah saya coba dan relevan dengan bidang keilmuan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak yang Tak Terhapus

30 Agustus 2024   19:46 Diperbarui: 30 Agustus 2024   19:51 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit biru cerah, aku pertama kali bertemu dengannya. Dia, lelaki dengan tatapan tajam dan pikiran kritis, memancarkan aura yang membuatku jengkel sekaligus penasaran. Awalnya, aku tidak menyukainya. Dia begitu jauh, tidak hanya dari segi pikiran, tapi juga dari caranya melihat dunia. Sementara aku terbiasa berpikir sederhana, dia selalu menantang pemikiran dengan argumen-argumen tajamnya. Kami berada di satu divisi di organisasi kampus, dan meskipun aku berusaha menghindarinya, takdir sepertinya terus mempertemukan kami.

Hari demi hari, tanpa kusadari, aku mulai memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ketika dia mengajarkanku banyak hal, memberiku nasihat, dan mendampingiku dalam setiap tantangan yang kami hadapi, perasaan benci yang dulu ada perlahan berubah. Dia menjadi sosok yang selalu bisa kuandalkan. Meski tidak pernah ada kata-kata manis terucap dari bibirnya, sikapnya selalu menunjukkan kepedulian yang tulus. Dia selalu ada saat aku butuh, bahkan rela meninggalkan kebersamaan dengan teman-temannya hanya untuk menemuiku. Apakah ini hanya sekadar perhatian seorang teman, atau ada sesuatu yang lebih di balik itu? Aku tak pernah tahu.

Perasaan itu semakin kuat, mengakar dalam hatiku, tapi aku menyadari bahwa jarak di antara kami tidak hanya sebatas perbedaan sikap dan pemikiran. Aku selalu merasa, dia terlalu jauh untuk kujangkau. Dia bagaikan bintang di langit, berkilau namun tak teraih. Meski begitu, aku tidak menyerah. Aku memilih untuk fokus pada diriku, menjadi pribadi yang lebih baik, berharap suatu hari aku bisa berdiri sejajar dengannya. Namun, harapan itu tetap tersimpan rapat dalam hati, terkunci oleh rasa takut dan ketidakpastian.

Di hari wisuda, aku memutuskan untuk menyampaikan perasaanku. Dalam tukar kado yang kubuat seolah-olah hanya sebuah kebetulan, aku menyelipkan sebuah surat. Aku tuangkan semua perasaanku di sana, berharap setelah ini, semua akan berakhir---entah dengan kebahagiaan atau kelegaan. Namun, apa yang kuterima hanyalah keheningan. Waktu berlalu, dan dia pun pergi, meninggalkan kampus, meninggalkan semua kenangan yang pernah kami ciptakan bersama. Aku pun mencoba melanjutkan hidup, berusaha melupakan semua yang pernah terjadi.

Namun, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang, dia selalu hadir di benakku. Lima tahun berlalu, dan aku mencoba membuka hati untuk orang lain. Tapi tak peduli seberapa keras usahaku, aku selalu kembali pada bayangannya. Saat aku butuh jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi pikiranku, yang kucari selalu dia. Saat aku butuh teman diskusi, namanya yang pertama kali terlintas. Harapan untuk bisa bersamanya, meski samar, tetap ada, menggangguku seperti luka yang tak kunjung sembuh.

Aku sadar, aku belum benar-benar bebas darinya. Harapan itu masih ada, meski aku tahu mungkin hanya diriku yang merasakannya. Lelah dengan perasaan ini, aku mempertimbangkan untuk menyingkirkan semua yang mengingatkanku padanya---barang-barang yang pernah dia berikan, kenangan yang pernah kami bagi. Namun, apakah itu akan membebaskanku, atau justru membuat luka ini semakin dalam? Aku belum tahu jawabannya.

Malam semakin larut, dan aku duduk di kamar, memandangi bintang-bintang di langit. Bintang yang dulu kuibaratkan sebagai dirinya. Aku tahu, mungkin satu-satunya cara untuk melanjutkan hidup adalah dengan melepaskan harapan yang terus mengikatku pada masa lalu. Tapi, melepaskan bukanlah hal yang mudah. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan benar-benar bebas dari bayangannya. Namun untuk saat ini, aku hanya bisa menerima bahwa perasaan ini adalah bagian dari diriku---bagian yang suatu hari, akan pudar dengan sendirinya.

Mencintai bukan soal harus memiliki. Karena cinta itu di dalam hati bukan dalam genggaman.

EA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun