Matahari mulai terbenam di ufuk barat, mewarnai langit kampus dengan gradasi jingga dan ungu. Dina melangkah pelan menuju taman, tempat biasa ia, Rafika, dan Ruly bertemu setiap sore. Namun sore itu terasa berbeda. Udara yang biasanya hangat kini terasa dingin, seperti menyimpan sesuatu yang gelap.
Amanda sudah ada di sana, duduk di bangku batu di bawah pohon besar. Wajahnya dihiasi senyum lemah lembut yang selalu membuat semua orang merasa nyaman. Tapi bagi Dina, senyum itu kini penuh teka-teki.
"Din," panggil Amanda sambil melambai. "Aku nungguin kamu."
Dina mengangguk singkat dan duduk di sampingnya. "Kenapa ngajak ketemuan, Amanda? Ada apa?"
Amanda menghela napas panjang, seolah tengah memikirkan sesuatu yang berat. "Aku cuma khawatir sama kamu. Kamu kelihatan stres akhir-akhir ini. Apa ini karena Rafika dan Ruly?"
Pertanyaan itu langsung menusuk Dina. Memang benar, akhir-akhir ini hubungan persahabatannya dengan Rafika dan Ruly terasa renggang. Rafika yang biasanya ceria kini sering bersikap dingin. Ruly yang dulu selalu bisa dia andalkan sekarang lebih sering menghindar.
"Aku nggak tahu, Amanda. Mereka berubah. Aku merasa seperti orang asing di antara mereka."
Amanda mengangguk, seolah memahami perasaan Dina. "Aku juga memperhatikan itu. Tapi, jujur, aku merasa mereka agak nggak adil sama kamu. Mereka sering ngomongin kamu di belakang."
Dina terkejut. "Ngomongin apa?"