"Jangan dekat-dekat!" bisik Wulan. Suaranya terdengar ketakutan. Tapi Dika mengabaikannya. Dia menyentuh batang pohon itu dengan ujung jarinya.
Seketika, dia terjatuh sambil memegang kepalanya. "Aaaargghh!" Dika berteriak keras. Reza dan Wulan panik, mencoba membantunya bangun. Namun, wajah Dika berubah. Matanya membelalak, seperti melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mereka.
"Ada... ada yang berbicara di kepalaku... mereka memanggilku..." Dika bergumam, suaranya serak dan tidak seperti dirinya.
Reza menarik Dika menjauh dari pohon itu, tapi tiba-tiba kabut tebal menyelimuti mereka. Cahaya senter mulai redup, membuat semuanya nyaris tidak terlihat. Dari dalam kabut, terdengar suara langkah kaki. Pelan tapi pasti, suara itu mendekat.
"Siapa itu?!" Reza berteriak. Tidak ada jawaban.
Tiba-tiba, suara itu berhenti, diikuti oleh suara tertawa kecil. Tawa itu begitu pelan, tetapi terasa menusuk hingga ke sumsum tulang.
"Keluar! Jangan main-main dengan kami!" Dika, yang entah bagaimana, berdiri kembali. Matanya masih liar. "Aku tidak takut denganmu!" teriaknya.
Lalu, suara itu berhenti. Kabut perlahan memudar, memperlihatkan pemandangan yang lebih menyeramkan. Pohon-pohon di sekitar mereka berubah. Batangnya kini menyerupai tubuh manusia yang terpuntir, dengan wajah-wajah menyeringai di antaranya. Akar-akar pohon itu tampak menggeliat, seolah ingin meraih mereka.
Wulan mulai menangis, lututnya gemetar. Reza mencoba menariknya untuk lari, tapi langkah mereka terhenti ketika suara lirih seperti bisikan terdengar di telinga mereka.
"Kenapa kalian di sini?"
Reza menoleh ke sumber suara. Di bawah pohon tua itu, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih kotor. Wajahnya tidak terlihat jelas karena bayangan, tapi suaranya penuh amarah.