Tech winter is coming. Beberapa startup di Indonesia belakangan ini mulai melakukan layoff alias PHK kepada sejumlah karyawannya dengan berbagai alasan.Â
Terutama, yang paling santer, adalah alasan efisiensi atau merampingkan struktur perusahaan yang ujung-ujungnya menghemat cost.
Fenomena layoff ini terjadi pada startup di berbagai bidang, mulai dari yang berbasis pendidikan seperti Zenius dan Ruangguru, e-commerce seperti Shopee yang waktu itu sempat heboh, digital payment seperti LinkAja, hingga Mamikos, Sirclo, dan lainnya.
Tingginya gaji programmer jadi masalah?
Hal menarik dari fenomena startup buble ini adalah saat beberapa hari yang lalu ada seorang netizen Twitter yang nge-tweet menanggapi kondisi tersebut, yang intinya, kurang lebih, dia berpendapat bahwa penyebab fenomena tech winter tersebut salah satunya karena gaji programmer Indonesia saat ini kurang rasional, karena dianggap terlalu tinggi.
Sontak cuitannya menimbulkan beragam reaksi pro dan kontra.Â
Di antara yang pro menyebutkan bahwa kebiasaan startup yang menyabotase talent yang ahli di bidang IT, sebagian disebut programmer, dengan memberikan gaji fantastis, membuat rate gaji para "Nam Do-san" di dunia nyata ini menjadi sangat besar dibandingkan posisi pekerjaan lain di level yang sama.
Sederhananya, gara-gara banyak startup lazim memberikan gaji yang tinggi, otomatis programmer ini hanya mau digaji dengan rate yang sama saat di-hire di perusahaan-perusahaan selain startup, yang notabene mungkin tidak memiliki budget yang cukup untuk memenuhi ekspektasi gaji mereka.
Tapi tidak sedikit juga yang kontra dengan mempertanyakan standar apa yang dipakai untuk menentukan suatu gaji bisa dibilang rasional.Â
Ada juga yang berpendapat bahwa wajar jika gaji programmer relatif besar karena sifat pekerjaan yang rumit, dan lain sebagainya.
Gajinya memang bisa tinggi
Oke, mari tinggalkan pendapat netizen tersebut yang bilang kalau gaji programmer tidak rasional, sebab tolok ukurnya masih ambigu.Â