Mohon tunggu...
Fitria Osnela
Fitria Osnela Mohon Tunggu... -

simple. http://flachaniago.blogspot.com email: nella_chaniago@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nalu, Perempuan Beraroma Beras

9 September 2014   02:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:16 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nalu menjelma perempuan beraroma beras. Siapapun mungkin tidak akan percaya kalau aroma hangat itu ia dapatkan dari kebiasaan Ibu yang memandikannya dengan air cucian beras sejak ia masih bayi. Aroma beras selepas penggilingan; hangat yang melesap ke urat syaraf, meredam kepenatan.

Tentang kebiasaan ini, di masa kanak-kanak Nalu pernah protes pada ibu. Tak ada seorangpun-sepengetahuan Nalu-di kampung ini yang mandi menggunakan air cucian beras. Lalu Ibu bilang: hanya ini yang bisa dilakukan, agar kau tetap mewangi seperti beras meski Ibu kelak tiada. Meski tak mengerti apa maksudnya, sejak saat itu Nalu tak lagi protes karena ia memang sangat menyukai aroma beras. Dan ia tak pernah sekalipun lupa untuk mandi dengan air cucian beras. Ia hanya akan membuat jengkel para tetangga karena tiba-tiba saja sudah muncul di dapur mereka -tepat ketika mereka akan mencuci beras- untuk meminta agar air cucian beras itu diberikan padanya.

Suatu hari pada musim penggilingan padi, diam-diam Nalu pergi ke sebuah Huller dan berdiri telanjang di bawah corong yang berfungsi sebagai pengantar beras yang telah digiling dari gerabah yang kemudian dikumpulkan pada sebuah tempat khusus berbentuk persegi yang hanya setinggi lutut. Sepertikolam. Ia membiarkan butiran-butiran beras pada corong penggilingan -yang menyerupai air mancur- itu jatuh dan lekat pada sekujur tubuh yang sebelumnya telah ia basahi. Ia berdiri lurus dan memejamkan mata menikmati aroma dan getaran yang ditimbulkan ketika beras-beras itu jatuh menyentuh sekujur tubuhnya. Benar-benar hangat melesap ke urat syarafnya.

Pekerja Huller yang kaget atas tingkah Nalu berkali-kali meneriakinya agar tak melakukan hal gila itu, namun Nalu bergeming. Sehingga pekerja harus menjemput Ibunya yang sedang menyiangi padi di sawah tetangga, Tergopoh-gopoh Ibu menyeret Nalu pulang ke rumah. Itu sudah belasan tahun silam, ketika Ibu masih hidup. Hanya sekali itu Nalu melakukannya.

Tak pernah terlintas di pikiran Nalu untuk menggunakan parfum dengan aroma Mawar, Strobery, atau Apel, seperti kebanyakan remaja di kampungnya. Bagi remaja-remaja itu –dan juga kebanyakan perempuan lainnya- aroma-aroma itu terasa segar, tapi bagi Nalu aroma itu dingin dan membuat otaknya menyempit.

Nalu, tak pernah bisa mengingkari jati dirinya. Di masa lalu, ia adalah serumpun benalu yang menumpang pada cabang kecil pohon kopi. Serumpun benalu yang pernah ingin terlahir menjadi padi. Serumpun benalu yang pada akhirnya hanya ingin terlihat dan dipetik oleh seseorang dengan penyakit yang hanya membutuhkannya sebagai obat.Lalu, Nalu terlahir kembali dari rahim seorang wanita yang membuatnya menjadi perempuan beraroma beras. Tapi tetap saja, aroma tak pernah bisa merubahnya. Ia tetaplah Nalu dari masa lalu, meski telah menjelma seorang perempuan.

Aroma beras yang menguar dari sekujur tubuh Nalu membuat setiap laki-laki di kampung itu bertekuk lutut padanya, Terlebih lagi keterampilan komunikasi yang dimilikinya begitu memukau. Memang, kebanyakan lelaki di kampung Nalu adalah petani yang menghabiskan seluruh siangnya di ladang dan sawah. Lalu, selepas senja satu persatu mereka akan memenuhi beranda rumah Nalu yang sempit, untuk sekedar menikmati aroma beras yang meredam kepenatan. Aroma yang pada normalnya hanya bisa dinikmati lelaki-lelaki ini selepas penggilingan padi pada musim panen.

Dan kehidupan Nalu bergantung pada lelaki-lelaki itu. Lelaki-lelaki beraroma tanah yang tak pernah mendapatkan apapun dari Nalu, selain aroma beras yang menghilangkan penat. Tapi, dari lelaki-lelaki itu, Nalu bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Ia hanya perlu mengatakan, dan lelaki-lelaki itu dengan suka rela akan memberikan. Tapi, Permintaan Nalu tak pernah lebih dari sekaleng beras dan sekantong plastik lauk pauk. Nalu mengerti bagaimana kehidupan lelaki-lelaki yang hidup dari bersawah dan berladang. Dan Nalu pun tahu, kebanyakan lelaki-lelaki ini mengambil sembunyi-sembunyi beras dan lauk pauk itu dari dapur istri-istri mereka. Itulah kenapa Nalu sangat dibenci olehperempuan-perempuan di kampungnya. Ketika musim panen, beberapa lelaki dengan senang hati memberikan beberapa uang receh padanya, itu sudah cukup bagi Nalu untuk kelangsungan hidupnya dari hari ke hari.

Tentu saja, Nalu tak sepenuhnya menjadi benalu bagi kehidupan lelaki-lelaki itu, sebab lelaki-lelaki itu membutuhkan aroma beras yang menguar dari sekujur tubuh Nalu, untukmeredam penat setelah seharian bergulat di ladang dan sawah. Dan Nalu membutuhkan sesuap nasi untuk hidup. Ini hanya simbiosis mutualisme, bukan salahku jika lelaki-lelaki itu harus berlari padaku untuk sekedar melepas penat, gumam Nalu menguatkan diri ketika perempuan-perempuan di kampung itu memandang sinis padanya.

Suatu hari, Nalu bertemu seorang lelaki beraroma laut. Lelaki itu membuat jantungnya berdebar dan aliran hangat memenuhi syarafnya. Aliran hangat yang sama dengan yang pernah dirasakannya dulu, ketika butiran-butiran beras jatuh dan melekat di sekujur tubuhnya.Tak pernah Nalu merasakan hal serupa itu ketika bertemu lelaki manapun sebelum ini, tidak pula pada seorang duda terpandang beraroma tanah yang berkali-kali memohon pada Nalu agar bersedia menjadi istrinya.

Nalu semakin sering bertemu dengan lelaki beraroma laut itu. Nalu tak mengerti kenapa pertemuan yang seperti tidak sengaja itu begitu kerap terjadi. Perasaan mereka bertumbuh, menguar ke seluruh kampung. Perempuan-perempuan di kampung itu kompak menyuruh Nalu agar cepat-cepat menikah dengan si lelaki laut, agar suami-suami mereka tak lagi menemui Nalu dengan diam-diam saban senja. Dan Nalu tak pernah menyadari bahwa satu persatu perempuan-perempuan itu mulai berusaha sekuat tenaga mengganti aroma tubuh mereka dengan aroma beras.

Dan lelaki beraroma laut itu mulai berani melekatkan tubuhnya ke tubuh Nalu, seperti butiran-butiran beras yang melekat di sekujur tubuh Nalu belasan tahun silam. Nalu tak pernah bisa menolak. Hingga suatu hari, Nalu merasakan sebutir beras bersemayamdi rahimnya. Setiap hari semakin bertumbuh, dan Nalu merasa perlu memberi tahu Lelaki beraroma laut itu. Tetapi, lelaki itu tak pernah kembali. Meski Nalu sekuat tenaga membuat suatu ketidaksengajaan-ketidaksengajaan seperti ketidaksengajaan perjumpaannya dengan lelaki itu, tetap saja lelaki itu tak lagi muncul.

Pertumbuhan sebutir beras di rahim Nalu demikian cepat. Siapapun dapat melihatnya. Mulanya lelaki-lelaki beraroma tanah yang datang saban senja padanya menunjukkan simpati, kemudian satu persatu mereka mulai merasa tak lagi membutuhkan aroma tubuh Nalu, hingga pada akhirnya tak pernah lagi ditemui lelaki-lelaki beraroma tanah di beranda rumah Nalu yang sempit.

Sebutir beras itu lahir menjadi bayi perempuan mungil yang cantik. Dan Nalu harus tetap hidup, setidaknya hingga bayi perempuan itu bisa hidup tanpanya. Nalu tak bisa lagi mengharapkan apapun dari lelaki-lelaki beraroma tanah. Ia musti hidup mandiri, meski harus bekerja keras serupa lelaki-lelaki beraroma tanah itu. Dan setiap hari Nalu memandikan Bayi perempuan mungilnya dengan cucian air beras, memberikan nama yang sama dengan namanya, dan berharap ketika besar nanti Nalu kecil memperbaiki kisahnya dengan menolak lelaki beraroma laut untuk melekat pada tubuhnya.

Di lubuk hati paling dalam Nalu berdo’a agar Nalu kecilnya tak pernah bertanya tentang siapa ayahnya, seperti dirinya yang tak pernah bertanya pada Ibu. (Limokaum, 08 September 2014)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun