Sepiring lontong dengan gulai taucho: Buncis segar yang dipotong serong tipis-tipis, dicampur irisan tahu-tempe, rimbang, petai, irisan hati dan kalang ayam, ditambah jangek, lalu kerupuk merah ditaburkan di atasnya. Santannya benar-benar terasa. Lalu ia melanjutkan makan nasi dengan potongan kotak-kotak daging rendang dicampur Ubi Batang goreng yang dipotong serupa stik. Rendang yang berminyak. Ia menikmati makannya, melumat pelan-pelan daging rendang itu dengan giginya. Kemudian, akan ada Lamang Tungkek sebagai penganan khas hari raya.
Jang menelan ludah, satu minggu lagi hari raya haji. Sudah terbayang olehnya makanan itu di depan mata, bahkan lidahnya merasakan cubadak mudo sebagai daging rendang. Ya, Inyiak membungkuskan tiga potong samba lado tanak cubadak mudo untuk bekalnya hari ini. Semilir angin dan aroma khas Batang Ombilin menemani makan siangJang.
Jang berumur dua belas tahun dan saat ini tengah duduk di bangku kelas enam esde. Sepulang sekolah, Jang akan menikmati suasana makan siang di pinggir Batang Ombilin yang membelah desa menjadi dua. Apabila mengedarkan pandangan ke seberang, akan tampak sisa-sisa kemegahan bangunan Belanda dan bangunan PLTU Ombilin yang tertegun menyambut perubahan zaman. PLTU itu sudah lama tak beroperasi terhitung sejak PT Bukit Asam Ombilin memutuskan angkat kaki dari tanah kelahiran Jang. Dan keberadaan Jang di sana sebenarnya tidak dalam rangka ‘sedang ingin menaikkan nafsu makan dengan wisata sungai’, tapi karena ada hal lain yang memang selalu dilakukan Jang sepulang sekolah di sungai ini.
Jang selalu menyeberangi Batang Ombilin ketika pulang sekolah. Bukan karena itu satu-satunya jalan pulang, ada jembatan beton besar yang menyatukan desa dengan jalan aspal yang bisa Jang tempuh untuk pulang, Jang memilih menyeberangi sungai karena tak ingin berjalan memutar dengan waktu yang lebih lama. Sepertinya sekecil itu, Jang telah mengetahui efisiensi waktu. Selepas sholat zuhur dan makan bekal yang dibungkuskan Inyiak, Jang akan memulai aktivitas yang sesungguhnya.
Jemari Jang mulaibergerak membuka ikatan tali pada batang Bambu. Tali yang hampir sama besar dengan kelingkingnya sendiri. Sebuah benda bulat besar menggembung jatuh berdebum menyentuh air dan Jang memegang tali sekuat tenaga agar benda itu tak terbawa arus dan Jang pun masuk ke sungai dengan sebuah linggis kecil. Lalu, Jang akan terlihat menyelam dan muncul dengan sebuah batu yang kadang terlihat terlalu besar untuk bisa diangkatnya. Batu itu dikumpulkan Jang di dalam benen yang pada bagian tengahnya sudah dirajut dengan tali yang hampir sebesar kelingking Jang. Tali itu biasa digunakan sebagai pengikat sapi. Dan cukup kuat untuk menampung penuh batu-batu yang lebih besar dari kepala Jang.
Benen itu tak akan terbawa arus selagi Jang masih memegang tali. Dan tentu saja sangat sulit bagi Jang untuk mengambil batu di dasar sungai itu dengan menyelam sedang tangannya mesti pula memegang tali dan linggis untuk mengungkit beberapa batu yang sangat enggan meninggalkan dasar Batang Ombilin.
Jang bekerja pada Kawu, seorang pria paruh baya yang punya lima anak. Jang sebenarnya bisa bekerja sendiri tanpa bergantung pada Kawu karena Batang Ombilin itu bukanlah milik Kawu atau siapapun sehingga tak akan ada yang melarangnya untuk mengambil batu di sungai itu. Hanya saja, Jang tak punya peralatan sendiri. Kawulah yang meminjamkan benen itu padanya, dan mengenai Linggis, Jang meminjam linggis Atuk yang memang jarang digunakan.
Jang hampir tak pernah merasakan bermain dengan teman sebaya sepulang sekolah. Bahkan Jang sering dipanggil oleh teman-temannya dengan sebutan ‘Jang Milin’. Milin merupakan sebutan untuk Batang Ombilin. Di kampung Jang, orang-orang sering bicara dengan cepat sehingga ‘Ombilin’ menjadi ‘Mbilin’ dan pada akhirnya hanya disebut ‘Milin’. Tentu saja, gelar dibelakang nama Jang itu, pada suatu hari nanti akan menambah deretan JangJang lain di kampung ini, seperti: Jang Konol, Jang Comin, Jang Umpan, Jang Kenon, Jang Kuyuik dan Jang lain-lain yang tak bisa disebutkan satu persatu. Lain nama, lain pula sejarahnya. Dan kebanyakan memang dimulai sejak mereka masih kanak-kanak sebagai identitas pembeda diantara sekian banyak Jang.
Jang tinggal bersama Atuk -yang tak bisa lagi bekerja terlalu keras karena tubuhnya yang renta dan acap sakit-sakitan-, Inyiak yang juga sudah tua tapi masih bisa memaksakan diri untuk mencari nafkah ke sawah tetangga, dan seorang adik perempuan yang saat ini duduk di kelas tiga esde.
Jang bukanlah anak yatim, Ayah dan ibunya hanya bercerai. Dulu, Ayah dan Ibu Jang bekerja memulung batubara. Setiap hari libur sekolah, Jang selalu ikut Ibu. Jang akan diminta Ibu untuk tetap duduk di tenda terpal yang digunakan sebagai tempat berteduh. Tapi, sering Jang tidak mengikuti permintaan Ibu dan lebih suka berjalan-jalan dan kadang bermain tanah dan sesekali gegas ke sisi Ibu untuk sekedar mencongkel-congkel tanah. Ayah dan Ibu Jang mengumpulkan batubara yang tercecer dari truk pengangkut batubara dan memilih dengan teliti batubara yang mungkin tak sengaja dimasukkan ketika truk membongkar batu ampa.
Bunyi gemuruh truk-truk yang bongkar muat, suara orang-orang yang riuh naik turun saling tindih, umpatan, kelakar kasar, semuanya menyatu di situ. Orang-orang yang bekerja sebagai pemulung batubara di sini kebanyakan bukanlah penduduk asli kampung ini. orang-orang itu datang dari desa-desa tetangga dan bahkan ada yang dari luar provinsi. Mereka mengadu untung di sini, di bukit yang puncaknya telah hampir rata dengan lobang-lobang pada sekujur tubuhnya, dan tak ada lagi pohon-pohon yang menunjukkan keasrian masa lalu bukit itu.
Pada waktu itu, Jang belum sepenuhnya mengerti tentang makna perselingkuhan ataupun perceraian. Yang Jang ingat, selamabeberapa waktu Ibu, dirinya, dan Adik tinggal di rumah Atuk dan Inyiak. Lalu, Ibu Jang pun pergi merantau. Mencoba peruntungan di negeri orang. Jang dan adiknya tetap tinggal bersama Inyiak.
Dari Inyiak, Jang tahu bahwa Ibu bekerja di perkebunan sawit dan kemudian menikah dengan rekan kerjanya. Ibu memang rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi uang itu tidak lebih dari cukup untuk biaya sekolah Jang dan Adiknya. Terlebih, Ibu juga punya keluarga dan anak yang musti dibiayai di sana. Dan Jang merasa harus membantu Inyiak untuk keperluan sehari-hari.
Mengenai Ayah, Jang ingat terakhir kali bertemu ayah ketika kelas empat dulu. Itu setahun setelah perceraian. Saat itu ayah memberi Jang beberapa lembar uang limapuluhan. Hanya sekali itu ia bertemu Ayah. Jang diberitahu kalau ayah sudah menikah lagi dan saat ini tinggal di luar provinsi.
Sebentar lagi hari raya haji, Jang ingin sekali hidangan hari raya seperti rendang, lontong, dan lamang tungkek ada di rumahnya kali ini, tidak seperti hari raya tahun lalu. Magrib sudah hampir menjelang. Jang harus pulang. Ia mengikatkan benen pada batang bambu. Tubuh kecilnya mampu mengumpulkan 10 benen batu hari itu. Dan hasil yang diberi Kawu padanya berbeda tiap minggu, tergantung sebanyak apa batu yang dikumpulkannya.
***
Jang memandangi satu lembar 50 ribu ditangannya. Itu jumlah yang cukup besar dibanding hari-hari biasa. Dua hari lagi hari raya haji. Setiba di rumah nanti Jang akan memberikan uang itu pada Inyiak. Besok Inyiak pasti ke pasar membeli kebutuhan hari raya. Bagi kebanyakan orang, hari raya mungkin cukup dengan memaknai apa yang terkandung di dalamnya. Tapi bagi Jang, hari raya adalah keinginan untuk menyantap makanan yang hanya ada pada saat itu.Keinginan itu tentu lebih mungkin bisa dikabulkan Inyiak, daripada keinginan akan hadirnya Ayah dan Ibu di hari itu.
Jang gegas pulang, tentu saja setelah menambatkan benen ke pohon bambu di tepi sungai. Jang tak ingin mengambil resiko benen itu hanyut terbawa arus. Di depan rumah, adiknya telah menunggu. Harapan besar Jang untuk bisa merayakan hari raya lengkap dengan makanan khasnya.
***
“Nyiak, kita bisa buat rendang kan, Nyiak?”
Inyiak menatap Jang iba.
“Bisa, Jang. Nanti, kalau kita sudah dapat daging kurban.”
Jang berbinar menatap Inyiak. Lantas mengalihkan ke tudung dan para-para. Tak ada lontong dengan gulai taucho yang begitu menggiurkan, tak ada lamang tungkek yang tergantung. Tak tampak kesedihan pada Jang ketika tak ada makanan itu, sebab kesehatan Atuk lebih penting bagi Jang. Atuk tak punya kartu jaminan kesehatan, karena untuk mendapatkan kartu tersebut musti bayar duapuluh lima ribu lima ratus rupiah per bulan. Mungkin itu adalah nilai yang cukup murah, tapi bagi Atuk yang sudah takbisa lagi bekerja atau Inyiak yang hanya bisa pergi ke sawah ketika musim padi tiba, itu nilai yang sangat besar.
Jang kemudian mengambil kupon pengambilan daging kurban. Pada JamJam seperti ini biasanya sudah dimulai pembantaian hewan Kurban. Jang ingin melihat dulu proses pembantaian hingga tiba saat pembagian daging Kurban itu. (Rumah, September 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H