Pada sebuah kedai tepat di seberang lampu merah, ia menunggu. Menunggu sesuatu yang selalu saja terasa lama baginya. Sudah lebih satu jam ia duduk di situ. Matanya lurus menatap ke arah ujung jalan. Tentu saja ia perlu melihat kalau-kalau bus yang ditunggunya muncul dari ujung sana. Satu-satunya bus yang akan mengantarnya pulang. Sesekali ia mengganti posisi duduk dan memperhatikan telepon genggam di tangannya.
Kemudian, matanya yang menatap lurus itu mulai berbicara. Berbicara tentang kenangannya tepat di kedai itu bersama seseorang. Kenangan ketika seseorang itu dengan tiba-tiba memegang tangannya yang membuat ia terkejut. Lalu Emkazet datang, ia menyentakkan tangan itu dan pergi. Itu pertama kalinya ia membiarkan seseorang menggenggam tangannya.
Sebuah bus muncul, ia tergesa berdiridan menyetop. Pada kaca depan dan dinding bus itu tertulis Emkazet, bukan MKZ. Penuh. Hanya ada sisa tempat duduk di kursi serap. Ia pun bergabung duduk di kursi serap itu dengan dua penumpang lain-seorang remaja putri berseragam pramuka dan seorang pria tanggung- yang telah terlebih dahulu duduk di kursi itu. Ia musti memutar kepala agar dapat melihat ke depan dan mendapati bahwa kursi depan di sebelah sopir diisi oleh tiga orang penumpang perempuan. Penumpang yang duduk tepat di samping sopir itu tampak risih, ketika sopir harus memaju mundurkan kendali yang ia kangkangi.
Penat dengan posisi seperti itu, ia lalu memutar kembali kepalanya, berhadapan dengan penumpang-penumpang lain. Ada tiga buah deretan bangku. Masing-masing deretan berisi 4 orang penumpang. Seorang pria berdiri dengan berpegangan pada jendela yang terbuka di pintu itu. Sebagian besar penumpang tampak gelisah, mungkin karena panas.
Ia mulai merasa tidak nyaman dengan bau parfum orang-orang di atas Emkazet, goyangan Emkazet yang berlari kencang mengikuti kontur jalan yang tidak datar, bau solar yang meruap, bau asap rokok dari pria tanggung di sebelahnya yang dengan santainya menghisap, lalu bau keringat. Perutnya mulai bergejolak, membuahkan rasa asin di mulut, lalu sekuat tenaga ia menahannya sehingga mukanya merah padam dan airmata berlinang. Semua penumpang memandang padanya.
Emkazet berhenti dan remaja putri berseragam pramuka di sampingnya turun. Lalu, ia menelungkupkan wajah pada tas ransel hitam yang diletakkan di kedua pahanya, menumpukan berat badannya pada kaki. Ia berusaha mengalihkan pikiran agar rasa mual itu berkurang. Ia kembali mengingat tentang seseorang, tentang pertemuan mereka, dan tentang segala yang berhubungan dengan seseorang itu hingga hari ini. Ia tak pernah berhenti memikirkan lelaki itu, lagi dan lagi. Jika sudah begini ia kerap mengingat-ingat hal apa saja yang membuatnya kecewa terhadap lelaki itu, sehingga ia mendapatkan pembenaran bahwa lelaki itu bukanlah orang yang baik untuknya.
Ia ingat kata-kata Ibu: tidak perlu kekayaan dan ketampanan seseorang, cukup seseorang yang bertanggungjawab yang mau menerimamu dan keluargamu seutuhnya. Lalu ia memikirkan Ibu, wanita paruh baya dengan masalalu yang berat. Wanita yang mengomel ketika mendapati barang-barang tak terletak pada tempatnya, wanita yang berteriak padanya ketika sepulang bekerja menemukan piring-piring yang masih kotor dan rumah yang belum disapu.
Untuk sementara ia memang lupa pada rasa mual yang mendera, ia memperkirakan saat ini pasti sudah sampai di kota kecamatannya dan ia merasa tak ingin lagi memejamkan mata. Perlahan ia membuka mata dan melihat jendela, betapa kagetnya ia. Ia tak mengenali daerah dibalik jendela itu. Ia tak mungkin tersesat atau salah naik bus. Dan anehnya, ia seperti tidak merasakan seseorang turun atau Emkazet berhenti sejak remaja dengan seragam pramuka di sebelahnya tadi turun dan Ia histeris ketika melihat wajah-wajah penumpang.
Apa yang terjadi? Wajah-wajah itu, wajah-wajah dengan ekspresi yang sama, wajah-wajah dengan sepasang mata yang bolong, wajah-wajah beku dengan bibiryang tertarik sedikit di kiri dan kanannya. Ia melihat lelaki yang duduk di sebelahnya, sama. Lelaki itu memandang lurus ke depan, berhadapan dengan penumpang bermata bolong di depannya. Ia berteriak dan memeriksa kedua belah matanya: bolong. Dan salah satu jarinya memegang sesuatu yang lunak ketika memeriksa mata itu yang kemudian secepat kilat langsung ia tarik kembali. Tapi kenapa ia masih bisa melihatdan menangis dengan mengeluarkan airmata?
Tiba-tiba bus itu berhenti. Sang sopir turun dan menyeret tubuhnya ke sebuah gundukan tanah. Ia histeris dan bertambah kaget ketika menyadari bahwa gundukan tanah itu adalah sebuah kuburan tanpa nama di batu nisannya.
Lalu, ia muntah. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H