Mohon tunggu...
Fitria Osnela
Fitria Osnela Mohon Tunggu... -

simple. http://flachaniago.blogspot.com email: nella_chaniago@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Dan Benalu Pun Bahagia

17 September 2014   17:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seekor kupu-kupu melepas lelah di dahan kopi tempat Nalu menumpang.

“Hai, Kupu… Cantik sekali tubuhmu!” Sapa Nalu.

“Hahaha.. terimakasih, Nalu.” Sahut Kupu. Kupu-kupu itu mengembangkan sayapnyayangpenuh warna. Ujung depan berwarna kuning memanjang seperti busur lalu di sambut oleh warna oren setengah lingkaran dan menyisakan warna dasar putih di tengah. Garis-garis hitam menyerupai jala yang terdapat pada seluruh sayap menambah keindahan kupu-kupu itu.

“Seandainya aku terlahir sepertimu, Kupu. Tentu aku akan sangat bahagia sekali.” Nalu berdecak kagum.

Kupu memandangi Nalu dengan raut wajah sedih. “Terimakasih atas pujianmu, Nalu. Tapi mungkin esok kita tak akan bertemu lagi, karena hidup kupu-kupu macam kami tak pernah lebih dari sebulan, bahkan tak sampai satu bulan.” Kupu pun kembali terbang, sejauh yang ia bisa.

Betapa sedihnya jadi kupu-kupu, pikir Nalu. Walaupun ia memiliki tubuh yang sangat indah dan bisa terbang kemanapun ia suka, toh hidupnya tak pernah lebih dari sebulan. Lalu Nalu kembali memandangi Padi yang menguning di sawah. Memang, batang kopi tempat Nalu menumpang terletak di pinggir sawah. Setiap hari Nalu hanya berpikir tentang dirinya yang tidak berguna. Tentang dirinya yang menjadi benalu di salah satu dahan kopi itu. Ia musti memohon-mohon pada batangkopi agar tetap membiarkannya hidup. Dan Nalu ingin sekali menjadi Padi.

Ya, Padi. Nalu menjadi saksi bagaimana padi itu tumbuh. Mulanya ia hanyalah butir-butir yang ditabur petani, menjadi benih, ditanami, menghijau, menguning, dan siap dipanen. Padi senantiasa diperhatikan petani: diberi pupuk, disiangi, dijaga pada siang hari agar tak dicuri Pipit dan dijaga pada malam hari agar tak diseruduk Babi. Setelah panen, padi-padi itu di giling menjadi beras -bahkan beraspun bisa dibuat tepung- sebagai penyambung hidup petani dan keluarganya. Meski begitu, padi tak pernah menjadi sombong, ia merunduk sebagai tanda kerendahan hati atas segala perlakuan petani yang diberikan padanya. Sungguh suatu kehidupan yangmembuat Nalu menjadi iri.

“Sudahlah, Nalu. Kau tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Terima saja dirimu itu. Hahaha.” Dako, si Dahan Kopi meledek Nalu.

“Di masa depan, aku ingin terlahir kembali menjadi serumpun Padi.” Tekad Nalu. Kata-kata itu kembali membuatnya menjadi bahan tertawaan Dako.

“Sudahlah, Dako. Aku tak suka kau tertawai.” Nalu merajuk.

“Hahaha… Maaf, Nalu. Tapi aku benar-benar tak bisa berhenti. Kamu itu lucu. Jangan bermimpi yang tidak-tidak, Nalu. Terima saja dirimu.”

Menerima diri, itu yang masih belum bisa Nalu lakukan. Ia sudah berusaha semampunya, tapi kenyataan sebagai makhlukyang menumpang dan mengambil sari-sari makanan makhluk lain untuk bertahan hidup membuat membuat Nalu sedih. Nalu beruntung menumpang pada Dako, sebab Dako sangat baik.Dako memperlakukan Nalu sebagai sahabatnya sendiri. Bahkan Dako rela membantu Nalu memohon pada Batang Kopi agar membiarkan Nalu tetap bertengger di dahannya.

Angin membuat Nalu dan Dako terbuai-buai, sementara petani sibuk mengusir burung-burung pipit yang tak henti mencuri padi jika petani lengah. Tak lama lagi tentu padi akan di panen. Topik pembicaraan mereka kemudian beralih pada Kupu, kupu-kupu yang hidupnya tak lebih dari sebulan. Nalu dan Dako berharap agar Kupu bisa hidup lebih lama agar mereka tetap bisa memandangi keindahannya. Demikianlah Dako dan Nalu menghabiskan hari-hari mereka. Dako hanya ingin menghabiskan sepanjang hidupnya bersama Nalu, ia bahkan rela jika semua sari makanan miliknya diberikan pada Nalu, agar Nalu tetap hidup.

Tibalah hari panen, hari yang sangat menggembirakan bagi Padi. Nalu memandangi padi-padi yang tersenyum bahagia ketika sabit-sabit petani memotong rumpun-rumpun mereka. Kebahagiaan yang ingin dirasakana Nalu. Nalu pun melihat kebahagiaan pada petani yang panen hari itu.

Tepat di sawah yang berada di bawah Dako, beberapa petani berbincang sambil tetap menyabit. Dan Nalu pun menyimak perbincangan mereka.

“Kemaren putra Bapak Sukirman yang di kota pulang. Kasihan sekali dia.”

“Itukan bagus kalau anak pulang dari rantau. Kasihan kenapa?”

“ Putraya itu terkena kanker, itu penyakit yang sangat sulit untuk diobati. Dan kabarnya, ia perlu benalu di daun kopi sebagai campuran ramuan obatnya. Dan kau tahu, mana ada di kota batang kopi, apalagi benalunya.”

Apa? Sungguhkah? Nalu kembali mengencangkan pendengarannya. Dan bertanya pada Dako apakah ia tidak salah dengar. “Itu benar, Nalu. Kamu menjadi obat untuk penyakit kanker, penyakit yang sangat ganas.” Dako bahagia melihat Nalu yang sangat gembira.

Lau petani itu kembali bicara. “Tapi, benalu di daun kopi sekarang sudah mulai langka.”

“Tentu saja. Kebanyakan di kampung kita orang-orang belum tahu kegunaannya. Makanya, dibuang saja dan bahkan tidak dibiarkan tumbuh di atas batang kopi.”

Nalu bersemangat dan sangat ingin menampakkan diri agar petani dapat melihatnya dan mengambilnya untuk obat putra Bapak Sukirman itu. Nalu memohon pada Dako agar menggoyang-goyangkan dahannya dengan sangat keras agar ia bisa terjatuh. Dako pun menuruti, ia tak ingin merusak kebahagiaan Nalu. Nalu yang sepanjang hidupnya selalu mengeluh karena dirinya yang tak berguna, lalu tiba-tiba manusia membutuhkannya untuk obat suatu penyakit yang sangat berbahaya. Betapa itu sebuah kebahagiaan luar biasa bagi Nalu.

“Terimakasih untuk semuanya, Dako. Kau selalu di hatiku.” Bisik Nalu untuk terakhir kalinya, sebelum Nalu jatuh tepat di depan petani-petani yang terkejut tak menyangka mendapatkan serumpun benalu. Salah seorang petani kemudian menyimpan Nalu untuk diberikan pada Bapak Sukirman.

Dako memandang Nalu. Ia bahagia, namun ia tak tahu apakah nanti sepeninggal Nalu ia masih bisa bahagia atau tidak. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun