[caption id="attachment_407974" align="aligncenter" width="567" caption="Kawah ijen"][/caption]
Tepat pukul 2 dini hari, pendakian ke gunung ijen dimulai. Udara dingin menyergap dengan sangat kuat, padahal saya hanya mempersiapkan jaket, penahan dingin seadanya, karena tak membayangkan udara dinginnya akan begitu mengigit.
Kontur jalan berpasir dengan tinggi kenaikan sudut yang tidak ekstrem, tetap membuat napas saya terengal-engal, karena dingin selalu membuat fisik menjadi lebih lemah. Setelah 2 jam berjalan, kami akhirnya sampai di puncak gunung ijen.
Perjalanan belum terhenti sampai disitu, sebuah tantangan sesungguhnya baru terhampar di depan mata, iya saatnya untuk turun kebawah mendekati kawah, untuk melihat si api biru yang keberadaanya di dunia hanya ada di dua tempat yakni di islandia dan di indonesia tentunya. Kontur jalan menuju kawah sungguh amat sangat menantang dan menguras energi bukan main. Ditambah dengan lebar jalan yang tak seberapa, sehingga harus ekstra hati-hati.
Bau belerang sudah menyengat, dan si api biru pun berkobar dengan cantiknya, sebuah keajaiban alam, reaksi kimia yang sungguh amat sangat menakjubkan. Namun, karena sengatan bau belerang yang begitu menyengat sehingga saya dan kawan-kawan tidak bisa berlama-lama di bawah, daerah kawah ini, untuk menyaksikan si api biru, karena faktor keselamatan harus selalu dipertimbangkan setiap kita melakukan kegiatan petualangan.
Kembali menuju puncak ijen dari kawah adalah tantangan yang super, seperti biasa untuk menyaksikan yang indah selalu butuh perjuangan. Beberapa kali saya berhenti untuk mengatur napas dengan baik, namun hal tersebut sama sekali tak ditampakkan oleh bapak-bapak ini, mereka bukan pengunjung atau wisatawan atau para petualang ataupun pecinta fotografi, mereka adalah para penambang belerang. Bapak-bapak penambang belerang ini adalah salah satu bagian dari kawah ijen yang tak akan terpisahkan. Mereka, bapak-bapak, yang setiap malam selalu datang ke gunung ijen ini, bukan untuk sebuah perjalanan biasa akan tetapi perjalanan luar biasa untuk mendapatkan lembaran rupiah. Mereka yang mempertaruhkan nyawanya dengan perlengkapan seadanya sekali, dalam dinginnya malam menembus gunung ijen untuk mengambil bongkahan-bongkahan belerang dari kawah ijen. Tanpa membawa beban saja, pendakian ke kawah ijen bagi saya sudah menguras energi, bagaimana jika ditambah beban seperti bapak-bapak tersebut. Lantas apa yang menguatkan mereka? Jawabannya mungkin keluarga, cintanya kepada anak-anaknya dan istrinya memberinya kekuatan untuk dapat mengarungi gunung ijen dengan beban super berat berisi belerang. Bapak-bapak yang mungkin tidak memilki pilihan pekerjaan atau profesi lain, yang tetap mengingkan anak-anaknya bisa tetap bersekolah, memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka. Semua cinta dan tanggung jawabya untuk keluarganya, membuatnya begitu kuat dan tangguh naik-turun kawah ijen dengan memikul berkilogram bongkahan belerang.
[caption id="attachment_407977" align="aligncenter" width="567" caption="Penambang belerang"]
Kembali saya merasa disentil dalam perjalanan ini, disentli untuk lebih mensyukuri hidup ini dengan lebih baik lagi. Dan tentunya jangan mudah menyerah akan setiap hambatan yang dihadapi, karena akan selalu ada jalan selama kita mau berusaha. Cantiknya kawah ijen ternyata menyimpan sebuah cerita tentang perjuangan para penambang belerang yang ceritanya tak seindah layaknya cantiknya kawah ijen, namun mereka tetap menjalani alur hidupnya dengan berusaha dan bekerja keras dengan penuh kebersahajaan bukan dengan meminta-minta. Kerasnya hidup tak membuat mental nya lemah, untuk lantas menjadi pemalas. Sebab rizki yang dihasilkan atas usaha dan keringat sendiri itu selalu lebih menenangkan dan Insha Allah membawa keberkahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H