Penipuan yang memanfaatkan hubungan emosional masih sering dialami, terutama oleh mereka yang mungkin belum terbiasa dengan dinamika dunia maya. Kisah ini berdasarkan pengalaman nyata seorang wanita berinisial N, yang tertipu secara finansial oleh pelaku berinisial G, yang baru dikenalnya lewat media sosial. Awalnya, N percaya dan merasa nyaman dengan hubungan yang terjalin, namun akhirnya ia terjebak dalam skenario manipulasi yang memanfaatkan kepercayaan dan perasaannya untuk keuntungan pribadi.
Korban mengenal pelaku dari sebuah aplikasi instagram. Dalam perkenalan itu, pelaku langsung agresif mendekatinya dan menunjukkan niat untuk menjalin hubungan jangka panjang, meskipun mereka belum pernah bertemu. Setelah tiga hari saling mengirim pesan, pelaku menyatakan niatnya untuk datang dari luar kota. Meski merasa ragu, N menerima ajakan tersebut karena merasa sungkan menolak, walau tetap ada ketidaknyamanan karena belum benar-benar mengenal siapa pelaku sebenarnya. Seiring waktu, pelaku mulai menunjukkan gelagat yang tidak biasa dengan meminta uang kepada korban. Awalnya, ia beralasan butuh Rp650.000 untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Jumlah ini tampak tidak begitu besar bagi korban, sehingga ia bersedia memberikan bantuan untuk alasan yang dianggapnya wajar.
Tak lama setelah permintaan pertama, pelaku kembali meminta bantuan finansial, kali ini dengan nominal yang lebih besar, sekitar Rp750.000, dengan alasan kebutuhan mendesak lainnya yang bersifat "darurat." Korban, yang merasa terikat emosional dan ingin membantu, kembali mentransfer uang tersebut. Beberapa minggu kemudian, pelaku meminta bantuan sebesar Rp1.000.000 dengan dalih membayar biaya pribadi yang disebutnya sangat mendesak. Meskipun mulai timbul keraguan, pelaku berhasil meyakinkan korban dengan kata-kata manis sehingga korban merasa bersalah jika tidak membantu.
Selang beberapa hari, pelaku mengajukan permintaan berikutnya sebesar Rp1.500.000 dengan alasan adanya masalah pribadi yang mendesak. Nominal yang semakin besar ini mulai membuat korban merasa tertekan, namun pelaku berhasil membujuknya untuk mentransfer uang tersebut. Korban semakin sering merasa terdesak ketika pelaku terus mendesaknya untuk mentransfer uang dengan berbagai alasan. Setiap kali korban mencoba menolak atau menunjukkan keraguan, pelaku akan menggunakan kata-kata manis untuk meyakinkannya, seolah membuatnya merasa bersalah jika tidak membantu. Korban mulai merasa terperangkap dalam situasi yang tidak nyaman, merasa seperti diperas karena setiap kali ia mengirim uang, permintaan pelaku tidak pernah berhenti, malah semakin sering dan semakin besar jumlahnya.
Pada titik tertentu, korban menyadari bahwa pelaku hanya memanfaatkan kebaikan dan perasaannya. Namun, sebelum korban bisa menuntut pertanggungjawaban, komunikasi dengan pelaku tiba-tiba terhenti. Pelaku tidak lagi memberi kabar, bahkan saat korban mencoba menghubungi. Nomor pelaku tak lagi bisa dihubungi, seolah menghilang tanpa jejak, dan uang yang sudah dipinjam pun tidak pernah dikembalikan.
Pengalaman ini menjadi pengingat penting agar tidak mudah percaya pada seseorang yang baru dikenal, terutama jika terdapat tanda-tanda ketergesa-gesaan dalam pendekatan. Semoga lebih banyak orang menyadari bahaya penipuan berbasis hubungan emosional dan saling mengingatkan agar tidak ada lagi korban yang jatuh ke dalam jebakan seperti ini. Di dunia maya, kita perlu lebih waspada dan membangun kepercayaan dengan sangat hati-hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H