Novel Dua Garis Biru, yang diadaptasi dari film karya Gina S. Noer, mengangkat tema yang sensitif seperti pernikahan usia muda, kehamilan remaja, serta dampak psikologis dan sosial yang mengikutinya. Cerita berpusat pada hubungan antara dua remaja, Bima dan Dara, yang harus menghadapi kenyataan pahit setelah Dara diketahui hamil. Dengan penulisan yang jujur dan emosional, novel ini menggambarkan bagaimana keputusan yang gegabah di masa remaja dapat mengubah hidup seseorang secara drastis.
Kisah Dua Garis Biru diawali dengan latar belakang Bima dan Dara, dua remaja yang sedang menikmati masa-masa percintaan di SMA. Keduanya berasal dari keluarga dengan latar belakang yang sangat berbeda; Bima berasal dari keluarga sederhana, sedangkan Dara tumbuh di keluarga yang lebih mapan. Suatu hari, di tengah perjalanan asmara mereka, keduanya memutuskan untuk melakukan hubungan seksual. Keputusan impulsif ini akhirnya berujung pada kehamilan yang tidak direncanakan.
Kehidupan mereka berubah drastis setelah Dara mengetahui bahwa dirinya hamil. Mereka berdua dihadapkan pada berbagai masalah yang kompleks, mulai dari tekanan keluarga hingga penghakiman sosial dari lingkungan sekitar. Reaksi keluarga mereka sangat beragam; meskipun awalnya menolak keras, kedua keluarga pada akhirnya bersatu untuk mencari solusi terbaik bagi Dara dan Bima. Namun, proses ini tidak mudah. Ketegangan dan perbedaan pandangan sering kali menjadi batu sandungan yang mempersulit hubungan kedua keluarga. Novel ini menggambarkan dengan detail bagaimana setiap anggota keluarga, baik dari pihak Dara maupun Bima, berusaha memahami dan mengatasi situasi yang rumit ini.
Selain itu, novel ini juga mengeksplorasi dilema moral dan sosial yang dialami oleh Bima dan Dara. Mereka harus menghadapi perasaan bersalah, takut, dan ketidakpastian tentang masa depan. Dalam proses ini, keduanya belajar tentang tanggung jawab, pengorbanan, dan kenyataan hidup yang jauh lebih rumit daripada apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Penulis berhasil menangkap momen-momen emosional di mana Bima dan Dara, sebagai dua remaja yang tiba-tiba harus dewasa lebih cepat, berusaha menemukan jalan keluar terbaik di tengah situasi yang sulit.
Salah satu kelebihan utama novel Dua Garis Biru adalah keberaniannya dalam mengangkat tema yang tabu di masyarakat, seperti pernikahan muda dan kehamilan remaja. Penulisan yang jujur dan emosional berhasil menggambarkan bagaimana keputusan yang impulsif dapat mengubah kehidupan seseorang. Selain itu, proses perkembangan karakter Bima dan Dara digambarkan dengan mendalam, terutama dalam menghadapi dilema moral, sosial, dan realitas yang jauh lebih kompleks dari yang mereka bayangkan.
Namun, di sisi lain, salah satu kekurangan dari novel Dua Garis Biru adalah jalan ceritanya yang mudah ditebak, terutama bagi pembaca yang sudah pernah menonton filmnya. Karena alur novel ini hampir sama dengan versi layar lebarnya, pembaca yang sudah akrab dengan kisah Bima dan Dara mungkin akan merasa kurang mendapatkan kejutan baru. Konflik yang dihadirkan juga terasa klise bagi mereka yang terbiasa dengan tema serupa. Meski begitu, novel ini tetap menawarkan nilai emosional yang mendalam, terutama bagi pembaca yang baru pertama kali mengenal kisah Bima dan Dara.
Secara keseluruhan, Dua Garis Biru merupakan sebuah novel yang mengajak pembacanya merenungkan dampak keputusan yang diambil di usia muda, khususnya dalam konteks kehamilan remaja. Dengan narasi yang kuat, novel ini menggugah emosi dan memberikan pandangan mendalam tentang kehidupan remaja yang sering kali dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit di tengah tekanan sosial dan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H