Yogyakarta – Seorang pemuda yang berasal dari keluarga kurang mampu, yang bermodalkan semangat dan tekad bulat untuk meraih cita-cita, berhasil menempuh perjalanan panjang dari tidur di bawah jembatan di Yogyakarta hingga menjadi seorang pengajar yang berbagi ilmu di kampung halaman. Dengan segala rintangan yang dihadapi, Kusyono membuktikan bahwa keberhasilan bukan hanya soal latar belakang, melainkan semangat untuk terus berjuang dan mengabdi tanpa pamrih.
Kusyono, seorang pemuda yang berasal dari keluarga kurang mampu. “Saya hanya orang desa yang tidak memiliki apa-apa, hanya bermodal nekat dan bekal ilmu. Setelah lulus SMA, saya memutuskan untuk mengambil beasiswa dan kuliah di Institut Teknologi Yogyakarta, dan Alhamdulillah, saya diterima di jurusan Teknik Industri,” ujar Kusyono. Tahun 2016, ia memulai perjalanan hidupnya yang baru di Yogyakarta, kota yang jauh kampung halamannya. Meski mendapat beasiswa, kehidupan di kota besar seperti Yogyakarta tidaklah mudah. Tanpa dukungan finansial yang cukup, ia harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Kusyono, menyatakan bahwa pada saat awal-awal di Jogja, ia bahkan tidur di bawah jembatan Gembira Loka, bersama orang-orang jalanan. Itu terjadi selama lebih dari tiga minggu.
Di Tengah kesibukan perkuliahan serta berbekal semangat mengabdikan ilmu, Kusyono mulai mengambil langkah nyata dengan membuka Sekolah Minggu di Masjid Al-Hidayah, Karang Benteng, Sleman. Kusyono tidak hanya mengajar di sana, tetapi juga berkeliling dari rumah ke rumah bahkan membuka di kostannya sendiri. Motivasi Kusyono untuk membuka sekolah minggu ini karena ia ingin menerapkann ilmu yang dipelajari untuk membantu anak-anak di desanya memahami ajaran agama dengan cara yang menyenangkan. Hadirnya sekolah minggu ini disambut baik oleh Masyarakat setempat. Banyak orang tua yang merasa terbantu karena anak-anak mereka mendapatkan Pendidikan tambahan yang tidak hanya mendidik secara spiritual tetapi juga membangun karakter positif. Sebagai orang tua, saya sangat bersyukur dengan adanya Sekolah Minggu yang diadakan Mas Kusyono. Dulu anak saya susah sekali disuruh mengaji di rumah, tapi setelah mengikuti sekolah minggu ini anak saya jadi semakin rajin untuk dateng ke mushola, karena dia bisa ketemu temen-temennya juga di sana. Ungkap Romlah, sebagai Orang Tua murid di Sekolah Minggu.
Bagi Kusyono, pengabdiannya bukanlah tentang mencari pengakuan atau penghargaan. Ia mengajar tanpa pamrih bukan karena ingin dipuji atau disanjung banyak orang, tetapi semata-mata karena niat hati yang Ikhlas untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, terutama anak-anak yang mungkin tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. “Jadi bukan karena ingin di puji dan sanjung banyak orang tapi itu memang sudah niat hati saya yang ikhlas membantu orang orang yang ada di kota Yogyakarta maupun di pelosok Yogyakarta,” ujar Kusyono.
Keberanian dan ketulusan Kusyono dalam membuka Sekolah Minggu di Masjid Al-Hidayah layak mendapat apresiasi. Teman-teman Kusyono sangat mendukung dan mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Kusyono. Meskipun mereka tahu bahwa Kusyono tidak mencari pujian atau penghargaan, mereka tetap merasa terinspirasi oleh ketulusan dan dedikasinya. Bagi mereka, apa yang dilakukan Kusyono adalah contoh nyata tentang bagaimana seseorang bisa memberikan manfaat besar kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kusyono juga bekerja sebagai guru di SD Negeri Sumber 2 sebagai guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Meskipun awalnya hanya mendapatkan honor yang kecil, pekerjaan tersebut memberikan Kusyono sedikit pendapatan untuk membayar biaya kostan dan bertahan hidup di kota Yogyakarta. Setelah lulus kuliahh pada Maret 2020, Kusyono masih belum merasa puas dengan pencapaiannya. Ia bertekad untuk melanjutkan Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan menjadi dosen. Dengan harapan untuk mendapat beasiswa, Kusyono mendaftar di Universitas Gajah Mada dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk melanjutkan studi S2. Namun, meski sudah berusaha keras, ia tidak berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. Kecewa, namun tetap tidak patah semangat, Kusyono memutuskan untuk pulang kampung dan melanjutkan perjuangannya di Kudus. Di kampung halamannya, Kusyono membuka peluang bagi dirinya untuk mengajar di SMK setempat. Selain mengajar, ia juga memilih untuk berkontribusi secara sosial dengan bersih-bersih tempat ibadah seperti masjid dan mushola di sekitar tempat tinggalnya. Kusyono tidak hanya dikenal sebagai seorang pengajar yang berdedikasi, tetapi juga sebagai sosok yang memberi inspirasi bagi banyak orang di desanya.
Kisah Kusyono adalah bukti nyata bahwa tekad dan semangat untuk belajar bisa mengatasi segala rintangan, dan bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak memerlukan banyak harta, hanya hati yang tulus. Dari tidur di bawah jembatan hingga mengajar dengan penuh cinta di kampung halaman, Kusyono mengajarkan kita semua untuk tidak pernah menyerah dalam mengejar cita-cita, serta untuk terus berbagi ilmu tanpa pamrih, demi mencerdaskan generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H