Mohon tunggu...
Fitrian Abdulkadir
Fitrian Abdulkadir Mohon Tunggu... -

Saya seorang pembelajar, saat ini kuliah di Al-Azhar. Sebagai pembelajar tentu tugas saya belajar. Jika di blog saya belajar ngeblog, saat menulis saya belajar menulis dan sekiranya dikritisi saya belajar menerima masukan. Senang rasanya bisa berbagi dan saling memotivasi. Kata orang, kita membaca untuk belajar, berbicara untuk didengar dan menulis untuk dimengerti. Benar agaknya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jus Pisang

10 Januari 2011   17:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1294682282191182098

[caption id="attachment_84277" align="alignleft" width="300" caption="Photographer Deanne Fitzmaurice"][/caption]

Saya hendak belajar menulis. Namun, tersandung oleh banyak hal. Sebenarnya menulis itu mudah sangat, kata orang-orang yang memang sudah hebat menulis. Dicobakan pula oleh saya, ternyata sulit-sulit mudah. Sulitnya tersebut sebanyak dua kali, berarti lebih condong kepada sulit ketimbang mudah. Dicobakan lagi, ternyata enak juga meskipun sulit. Dicobakan sekali lagi, tak sadar saya telah tercandu oleh kerjaan tulis-menulis ini. Tiga kali mencoba-coba, bolehlah saya buat kesimpulan bahwa menulis ini terasa manis sekali di jari dan tak ingin berlepas diri.

Perlu dicoba lebih dari tiga kali agaknya supaya tahu benar apakah minat saya sesuai atau tidak dengan menulis. Percaya saya dengan ucapan Virgil Garnet, "Try a thing you haven’t done three times. Once, to get over the fear of doing it. Twice, to learn how to do it. And a third time, to figure out whether you like it or not."Memang, dicoba pertama kali, menulis ini tak ada enaknya. Cuma sekedar mencoreng-coreng permukaan halaman putih saja tanpa makna. Serupa berbicara, menulis apa saja sama dengan bicara apa saja. Ketika dibaca kembali, geli rasanya perut ini membaca tulisan sendiri. Tersimpan dibenak sekiranya tulisan serupa itu dibaca orang lain, akan terbit keringat karena malu punya karya yang coretan saja. Tak punya makna.

Tapi, setelah sekian tahun ada perkara lain yang terasa oleh saya saat membaca kembali tulisan lama itu. Ternyata menulis serupa pisang. Semakin diperam, disimpan dalam waktu yang cukup, ketika dikeluarkan, pisang yang tadinya keras serupa kayu, terasa lezat setelah sekian waktu. Begitu juga saya lihat tulisan-tulisan saya. Dulu hanya saya tulis di buku isi seratus saat masih berseragam abu-abu putih. Kemudian, saya biarkan saja. Niat membaca saja tak ada dibenak, apalagi untuk benar-benar membuka dan melagakkan ke orang lain. Namun, setelah sekian tahun, saya baca lagi coretan masa sekolah dulu, ahh… terbawa diri ini kembali ke masa itu. Meskipun waktu itu tulisan saya sama sekali tidak bagus. Bukan sekedar tidak bagus, lebih dari itu, tidak layak baca.

Serupa pisang benar tulisan itu. Ketika disimpan sekian waktu, kemudian dikeluarkan lagi akan terasa lebih enak. Apalagi jika dijus pisang yang sudah diperam itu, aduhai, dicampurkan dengan es dan diminum di musim panas; serasa surga dunia ini untuk sementara. Begitu juga tulisan-tulisan yang telah lama terpendam; dikeluarkan dari karung, dijus, diberi madu, dicampur susu atau diolah dengan beberapa ramuan; mungkin bisa menjadi lebih lezat rasanya.

Tapi janganlah diberi karbit pisang itu karena masaknya akan terpaksa dan rasa lezatnya kurang terasa. Biarkan saja dia tersimpan, dilihat sekali-kali tidak apa-apalah. Sambil menunggu hingga pisang masak, juluk jualah pisang lainnya yang sudah ada di pekarangan. Jika belum berparak pisang, tanam sendiri di halaman. Kata orang-orang yang paham geografi, ada ribuan hektar tanah yang belum terjamah. Apalagi tanah kita tanah surga yang tongkatpun dicucukkan ke bumi bisa menjadi ubi kayu. Kita bisa berparak pisang di bumi subur ini. Membuat kebun kecil-kecilan untuk masa depan. Sembari parak diolah, pisang yang sudah tersimpan itu mungkin sudah waktunya dibangkit. Diramu dengan racikan jus.

Selezat jus pisang di musim panas, seperti itu pula agaknya tulisan yang sudah disimpan dan diolah dengan racikan—meskipun—sendiri. Ketika diminumkan jus pisang itu, seketika dibaca pula tulisan yang sudah diolah itu; rasanya tak ingin menghabiskan sendiri saja. Ingin pula memberikan kepada teman-teman supaya juga bisa merasakan jus pisang racikan sendiri. Supaya bisa berbagi bersama melalui rangkaian kata.

Namun, kita juga belajar mengerti bahwa orang-orang berbeda selera. Ada yang mungkin suka racikan jus pisang olahan saya, ada juga yang mungkin tak sesuai, atau ada juga yang sudah pernah merasakan jus yang sama—tidak—enaknya sehingga sudah terbiasa. Karena itu, perlulah kita saling memberi saran agar jus pisang yang dibikin benar-benar enak, tidak membosankan dan disukai siapa saja, bahkan oleh penjual pisang.

Cairo, Wisma Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun