30 menit kemudian, Bang supir yang romantis itu menelepon istrinya untuk memastikan istrinya sampai atau belum. Tapi beberapa menit kemudian pula, dia menelepon seorang perempuan (menurutku bukan istrinya) dengan nada yang senada dengan nada saat ia berbicara dengan istrinya. Positive thinking saja, mungkin itu saudaranya. Ah…, untuk hal ini aku tak mau ambil pusing. Jadi, cukup sampai di sini untuk cerita yang satu ini.
“Banyak kali kereta ini. Dipotong 100, di depan udah ada 200 kereta lagi.” Ucap Bang supir tiba-tiba.
Satu kalimat yang spontan tapi menurutku cukup menarik. Jadi teringat kasus beberapa orang yang kudengar dari orang-orang di sekitarku. Kalau lebaran begini memang banyak orang yang mudik dengan menggunakan kereta khususnya. Tak sedikit yang menggunakan kereta baru tapi berstatus kredit. Sengaja mereka kredit sebelum lebaran tiba agar bisa mudik dengan kereta itu. Tidak beberapa lama, ketika tagihan kereta itu sudah waktunya dibayar dan mereka
tidak bisa bayar, jadilah kereta tersebut ditarik kembali oleh perusahaan.
Teringat juga dengan perkataan seorang ustadzah di televisi. Mendekati lebaran banyak orang yang sibuk membeli ini dan itu. Semua harus lengkap. Kue lengkap, perabotan rumah serba baru dan lengkap, pakaian baru dan mahal dan asesoris pribadi juga ikut dilengkap-lengkapi. Ketika lebaran mulai berakhir, si penagih hutang datang bersilaturrahim untuk menagih hutang. Hmm, naudzubillah…. Semoga kita bukan termasuk yang begitu ya…J. Pengendalian diri itu penting, begitukan teman? ^^
Lanjut…:). Di pertengahan jalan, sesekali aku mengobrol dengan Ibu di sebelahku. Ternyata dia tidak hanya sendirian ke Riau. 14 orang lainnya yang ada di bus yang sama dengan kami ternyata adalah teman dan keluarga Ibu itu. Mereka memang tinggal di Riau dan ke Medan untuk mengunjungi keluarga mereka. Kupikir pulkam di lebaran pertama akan sepi penumpang tapi ternyata tidak.
Tak jauh dari Kisaran, sekitar pukul 18.30 wib. Bus yang kunaiki terpaksa singgah di sebuah bengkel. Si Bang supir hendak menempel 2 ban dari bus itu. Dia khawatir kalau tidak segera ditempel akan membuat perjalanan kami terhambat.
“Harusnya ditempel sebelum berangkat. Kalau kayak gini kan makan waktu. Aturan bisa cepat sampe jadi lama sampe’nya.” Celoteh seorang lelaki tua yang se-bus denganku. Dalam hati aku mengiyakan dan setuju dengan argumen lelaki itu. Benar saja, penempelan ban itu memakan waktu 4 jam.
Lokasi masjid yang cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki dari bengkel itu membuat aku dan beberapa penumpang lainnya berinisiatif untuk menerima tawaran seorang warga sekitar untuk naik angkotnya saja jika ingin ke masjid. Tentu dengan membayar ongkos yang sudah ditetapkannya duluan. Bapak ini kesempatan dalam kesempitan menurutku. Ongkos yang dia tentukan tidak sebanding dengan jarak tempuh yang kami lalui, alias kemahalan. Di bengkel itu tak ada mushola atau tempat yang digunakan untuk sholat, itu juga yang membuat kami memutuskan untuk mengiyakan tawaran Bapak itu.
Pukul 21.00 urusan tempel menempel ban itu selesai dan perjalanan pun kami lanjutkan. Sekali lagi, ini perjalanan pertamaku pulkam sendiri dan pertama kalinya duduk di bagian paling depan. Duduk paling depan membuatku bisa melihat setiap jalan yang kami lalui dengan jelas. Kesempatan yang ga boleh kusia-siakan tentunya karena pasti ada banyak ide yang akan berkeliaran dan berterbangan di dekatku.Yup, ide itu memang berkeliaran di sepanjang perjalananku itu. Semoga bisa kutuang dalam tulisan yang bermanfaat buat banyak orang.
Tapi aku agak ketakutan sepanjang duduk di depan. Sesekali, pikiran-pikiran kacau menghampiriku. Kalau bus ini menabrak sesuatu dan kaca depannya pecah, pasti kami yang duduk di depan yang akan kena pecahannya duluan. kalau…, kalau dan kalau…. Tapi pikiran-pikiran itu segera kutepis. Allah mengikuti prasangka hamba-Nya, begitukan? J. Di manapun kita berada dan kapan pun itu, maut bisa saja menghampiri kita tanpa tawar menawar. Yang penting berharap saja agar kita hidup dan berpulang pada-Nya dalam keadaan beriman pada-Nya.