Mohon tunggu...
fitri amalia
fitri amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

memiliki hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Sebuah Kasus dengan Cara Pandang Filsafat Hukum Positivisme

29 September 2024   11:15 Diperbarui: 29 September 2024   11:16 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama: Fitri Amalia Wiryani (222111380)

Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Julijanto, S.Ag., M. A.

Kasus Hukum Dengan Cara Pandang Filsafat Hukum Positivisme

Sekira 8 Juni 2009 silam, Koko ditangkap aparat dari Polsek Sektor Bojong Gede dan dituduh mencuri perangkat elektronik. Koko bukanlah pelaku yang sebenarnya lantaran beberapa hari setelah penangkapan itu, pelaku sebenarnya telah tertangkap dan menyatakan bahwa Koko tidak terlibat sama sekali. Tindakan sewenang-wenang berujung penganiayaan aparat kepolisian saat menangani perkara anak usia 15 tahun, 'SR' alias Koko cukup mencuri perhatian publik.

Beruntung, Putusan PN Cibinong No.2101/Pid.B/2009/PN.CBN pada 10 Agustus 2009 membebaskan Koko dari segala tuntutan jaksa dan meminta agar memulihkan hak-hak terdakwa secara kedudukan, harkat, serta martabat. Putusan itu sempat mendapat perlawan dari Kejari Cibinong dengan mengajukan kasasi. Hasilnya, 20 Januari 2010 hakim agung menolak kasasi tersebut. Koko dan keluarganya tidak tinggal diam atas apa yang terjadi.

Melalui LBH Jakarta, pada 29 februari 2012 keluarga Koko menggugat secara perdata ke PN Cibinong. Sebagai catatan, gugatan perdata kepada pihak kepolisian merupakan yang pertama kali. Sayangnya, PN Cibinong lewat putusan No. 36/Pdt.G/2012/PN.Cbn menolak gugatan tersebut. Namun, langkah berani dan pertama tersebut menjadi preseden ketika Kepolisian melakukan tindakan sewenang-wenang saat menangani perkara. Buktinya, gugatan perdata serupa di Padang, berhasil dikabulkan dan pihak Kepolisian mesti membayar ganti rugi Rp 100.700.

Analisis hukum positivisme 

Dalam pandangan positivisme, hukum dipandang sebagai perintah manusia yang memisahkan hukum dengan moral. Kasus Koko menunjukkan bagaimana tindakan aparat kepolisian yang sewenang-wenang dan tidak adil dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi tidak secara otomatis berarti bahwa tindakan tersebut tidak beralasan dari sudut pandang moral. Dari perspektif positivisme, hukum harus dipisahkan dari pertimbangan moral, sehingga tindakan aparat kepolisian hanya dapat dievaluasi berdasarkan apakah mereka telah melanggar peraturan hukum yang ada, bukan berdasarkan apakah tindakan tersebut adil atau tidak.
Positivisme juga menekankan bahwa sistem hukum harus berupa sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar dapat dideduksi dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan logika yang sistematis. Dalam kasus Koko, putusan hakim yang membebaskan Koko dari segala tuntutan jaksa dapat dilihat sebagai contoh penerapan hukum logis tertutup. Hakim memutuskan berdasarkan peraturan hukum yang ada dan bukti-bukti yang diperoleh, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor moral atau etika yang mungkin relevan.

Meskipun positivisme berusaha memisahkan hukum dari moral, kasus Koko menunjukkan bahwa tindakan penganiayaan oleh aparat kepolisian dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dari perspektif positivisme, tindakan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran peraturan hukum yang mengatur perlakuan terhadap individu, tetapi tidak secara otomatis berarti bahwa tindakan tersebut tidak beralasan dari sudut pandang moral. Namun, dalam praktiknya, penganiayaan seperti ini seringkali dianggap sebagai pelanggaran hukum yang jelas dan dapat diproses melalui sistem peradilan.

Pengertian Mazhab Hukum Positivisme

Mazhab hukum positivisme adalah aliran dalam filsafat hukum yang menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas. Dalam pandangan ini, hukum dipahami sebagai perintah yang ditetapkan oleh penguasa dan tidak terkait dengan nilai-nilai etika atau keadilan. Positivisme hukum berfokus pada norma-norma yang telah ditetapkan secara formal dalam sistem peraturan perundang-undangan, dengan keyakinan bahwa hukum adalah hasil dari keputusan manusia dan bukan refleksi dari hukum alam.

Pendirian utama dari mazhab ini adalah bahwa hukum hanya dapat dipahami melalui norma-norma positif yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Hukum dianggap sebagai "perintah" yang harus diikuti, tanpa mempertimbangkan apakah hukum tersebut baik atau buruk secara moral. Tokoh-tokoh penting dalam mazhab ini termasuk John Austin, yang mengemukakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa, dan Hans Kelsen, yang memperkenalkan konsep norma dasar (Grundnorm) sebagai sumber keabsahan semua norma hukum.

Dalam praktiknya, positivisme hukum menciptakan sistem hukum yang bersifat "closed logical system," di mana keputusan hukum dapat dideduksi dari aturan yang ada tanpa mempertimbangkan aspek sosial atau moral. Hal ini memberikan kepastian hukum, tetapi juga mengundang kritik karena dianggap mengabaikan keadilan dan kemanusiaan dalam penegakan hukum

Argumen Saya Tentang Mazhab Hukum Positivisme Dalam Hukum di Indonesia 

Mazhab hukum positivisme dalam konteks hukum di Indonesia memberikan pandangan yang jelas tentang bagaimana hukum seharusnya dipahami dan diterapkan. Positivisme menekankan pentingnya norma-norma hukum yang tertulis sebagai sumber utama dari hukum yang berlaku, memisahkan dengan tegas antara hukum dan moralitas. Dalam hal ini, hukum dianggap sebagai perintah yang sah dari penguasa, dan keabsahan hukum tidak bergantung pada nilai-nilai etika atau keadilan. Hal ini menciptakan kepastian hukum yang diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat, tetapi juga dapat menyebabkan ketidakadilan ketika hakim hanya berpegang pada teks undang-undang tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau moral.

Namun, penerapan mazhab positivisme di Indonesia juga menghadapi kritik. Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan ini dapat menghambat pencarian keadilan yang lebih substansial, karena sering kali keputusan hukum hanya didasarkan pada prosedur formal tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam praktiknya, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang merasa terpinggirkan oleh sistem hukum yang kaku. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosial dan moral dalam penegakan hukum agar dapat menciptakan keadilan yang lebih merata dan sesuai dengan hati nurani masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun