Mohon tunggu...
Fitria Hanifah
Fitria Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya merupakan mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang angkatan 23 ,Hobi saya membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ceramah dan Kontroversi, Fitria Hanifah : Pentingnya Sensitivitas Gender Dalam Dakwah Publik

13 Desember 2024   00:00 Diperbarui: 12 Desember 2024   20:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fitria Hanifah mahasiswi semester 3 UIN Imam Bonjol Padang , Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam ikut serta menanggapi penceramah terkenal Gus Miftah , terkait pelecehan terhadap salah satu jamaah yang bertanyaa kepadanya dalam acara kajian di Magelang, Jawa Tengah. Video itu diduga diambil pada September 2024. Fitria Hanifah menilai tindakan  Gus Miftah tersebut membuai banyak kontroversi sensitivitas dalam gender.

Ceramah keagamaan adalah salah satu cara untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan agama kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, dakwah juga harus memperhatikan aspek sensitivitas, terutama jika menyangkut isu-isu yang berpotensi menimbulkan kontroversi, seperti gender. Terkait kasus yang melibatkan Gus Miftah dan dugaan pelecehan terhadap perempuan dalam salah satu ceramahnya, permasalahan ini mengangkat kembali diskusi penting tentang batasan dalam humor dan komunikasi publik.

Sebagai tokoh publik, Gus Miftah dikenal dengan gaya ceramah yang santai dan sering menggunakan humor sebagai metode pendekatan. Namun, humor dalam dakwah harus dikemas dengan hati-hati agar tidak melukai pihak tertentu. Dalam konteks ini, ucapan yang dianggap lucu oleh sebagian audiens dapat dirasakan sebagai bentuk pelecehan atau penghinaan oleh audiens lain, terutama jika menyentuh isu sensitif seperti perempuan.

Penting untuk mengedepankan prinsip tabayyun (klarifikasi) dalam menilai kejadian ini. Sebelum memberikan penilaian, masyarakat perlu memahami konteks dan maksud dari ucapan yang dianggap kontroversial tersebut. Jika memang ada kesalahan, langkah terbaik adalah melakukan introspeksi dan meminta maaf secara terbuka. Di sisi lain, tokoh agama juga perlu terus belajar untuk mengembangkan cara komunikasi yang lebih inklusif dan peka terhadap perbedaan audiensnya.

Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bahwa dakwah memiliki dua elemen utama: konten yang benar dan cara penyampaian yang bijaksana. Ceramah yang menginspirasi adalah yang tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga melindungi dan menghormati audiensnya. Dengan demikian, tidak ada pihak yang merasa direndahkan atau dilecehkan.

Pada akhirnya, mari kita jadikan kontroversi ini sebagai momentum untuk memperbaiki komunikasi dakwah di Indonesia agar lebih inklusif, santun, dan membangun persatuan. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para pendakwah, tetapi juga masyarakat sebagai audiens untuk saling mengingatkan dengan cara yang baik.

"Dakwah bukan sekadar menyampaikan pesan agama, tetapi juga menyentuh hati tanpa melukai martabat siapa pun. Sensitivitas adalah kunci dalam membangun komunikasi yang damai dan bermakna."
-- Fitria Hanifah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun