bukan hukum yang terjadi secara alamiah di dalam masyarakat, yang merupakan kristalisasi dari pergaulan antar manusia dalam masyarakat sebagai subjek hukum, atau juga bukan hukum agama, khususnya agama Islam,
Hukum dan Keadilan Sosial dalam Perspektif Hukum Ketatanegaraan
Law and Social Justice in Constitutional Law Perspective
maupun melalui para nabi dan rasul-Nya. Hukum dalam kedua pengertiannya yang terakhir tersebut, yang pertama dikenal dengan hukum kebiasaan atau hukum adat dan yang kedua merupakan hukum agama, khususnya agama Islam dengan hukum Islamnya. Proses terbentuknya hukum kebiasaan atau hukum adat bersifat dari bawah ke atas (bottom-up) sedangkan proses terbentuknya hukum Islam bersifat dari atas ke bawah (top-down).1 Sama dengan sifat dari proses terbentuknya hukum Islam adalah hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini, yaitu hukum yang disebut dengan perundang-undangan negara, atau yang lazim juga dikenal dengan sebutan peraturan perundang-undangan. Hanya bedanya, untuk hukum Islam pembentuknya adalah Tuhan, Allah SWT, sedangkan untuk hukum perundang-undangan pembentuknya adalah suatu lembaga negara yang fungsi utamanya sebagai pembentuk hukum (legislative power).
Ketika suatu masyarakat telah menegara maka masyarakat tersebut memberikan kekuasaan kepada negara. Kekuasaan negara mengatasi kekuasaan lain yang ada di dalam masyarakat, termasuk dalam kaitannya dengan soal hukum. Kekuasaan tersebut diberikan kepada negara supaya menjadi modal bagi negara dalam mencapai tujuan negara, yang pada hakekatnya adalah tujuan bersama dari masyarakat tersebut. Dalam perspektif negara demokrasi, untuk mencapai tujuan negara tersebut kekuasaan negara diselenggarakan oleh orang yang dipilih oleh masyarakat untuk itu, sehingga hal yang paling nyata dalam penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut adalah orang, baik sebagai orang pribadi atau orang dalam pengertian secara kolektif kolegial sebagai suatu kesatuan penyelenggara negara. Dengan perkataan lain, pemegang kekuasaan negara sejatinya adalah orang juga.
Karakter orang yang memegang kekuasaan itu sendiri, sebagaimana kata Lord Acton, cenderung untuk korup atau sewenang-wenang. Oleh karena itu, manakala sesorang atau beberapa orang itu diberikan kekuasaan yang mutlak maka kecenderungan untuk korupnya atau kesewenang-wenangnya mutlak juga (power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely).2 Oleh karena itu maka kekuasaan dalam negara, yang salah satu implementasinya terkait dengan hukum, supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan maka kekuasaan itu dibagi atau dipisahkan menjadi tiga kekuasaan utama negara, yaitu kekuasaan negara pembentuk hukum (legislative), kekuasaan negara penyelenggara pemerintahan
Hukum dan Keadilan Sosial dalam Perspektif Hukum Ketatanegaraan
Law and Social Justice in Constitutional Law Perspective
negara berdasarkan hukum (executive), dan kekuasaan negara penyelenggara peradilan (judicial) guna menyelesaikan sengketa hukum.3
Sejalan dengan pembagian atau pemisahan kekuasaan negara sebagaimana diuraikan di atas maka cara masyarakat yang telah menegara tersebut dalam berhukum akan mengalami proses sebagai berikut: Pertama, pembentukan hukum. Kedua, pelaksanaan hukum. Ketiga, penegakan hukum. Dalam proses berhukum kedua yang terakhir tersebut kadang-kadang disebut juga sebagai penegakan hukum, mengingat kedua proses tersebut menggunakan hukum yang telah tersedia dari pembentuknya.
Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahannya adalah, Apa kait mengait antara hukum dimaksud dengan kemanusiaan serta keadilan, baik dalam pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum? Mengapa dalam berhukum mesti mengaitkannya dengan kemanusiaan dan keadilan? Tidakkah sudah cukup, hukum itu sendiri, tanpa kemanusiaan dan keadilan, melayani masyarakat yang telah menegara tersebut?
Sesuai dengan pengertian hukum sebagaimana dibahas pada kesempatan ini maka untuk menjawab permasalahan tersebut perlu dibahas terlebih dahulu permasalahan bagaimana suatu negara terbentuk, khususnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam kait mengaitnya dengan kemanusiaan dan keadilan. Untuk itu perlu dikutip terlebih dahulu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) alinea pertama yang menyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Alinea pertama ini terkait dengan fakta historis yang terjadi menginformasikan bahwa bangsa yang sebenarnya merupakan masyarakat yang mendiami wilayah nusantara, yang terdiri atas kelompok-kelompok masyarakat hukum berdasarkan suku, agama dan sebagainya, mengalami penjajahan oleh bangsa lain, yaitu bangsa Eropa, atau khususnya bangsa Belanda. Penjajahan yang sangat lama telah menjadikan mereka merasa senasib sependeritaan, yang kemudian menyadarkan
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konpress, 2005, h. 81. Bandingkan dengan Francis Fukuyama, Mem- perkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Abad 21, Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century, Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
852
Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015
Hukum dan Keadilan Sosial dalam Perspektif Hukum Ketatanegaraan
Law and Social Justice in Constitutional Law Perspective
akan terampasnya hak fundamental mereka sebagai manusia, yaitu kemerdekaan. Penjajahan yang mengakibatkan terampasnya kemerdekaan sebagai hak fundamental tersebut, menurut mereka, merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dengan demikian maka terbangunlah tekad yang bulat untuk berjuang menghapuskan penjajahan di dunia, yang lebih khusus lagi adalah penjajahan yang terjadi di bumi persada nusantara sebagai tempat dan sumber kehidupan mereka sejak semula ada.
Kumulasi dari perasaan senasib sependeritaan sampai dengan terbentuknya tekad yang bulat untuk berjuang menghapus penjajahan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, itulah yang kemudian membentuk ikatan mereka menjadi bangsa. Terbentuknya ikatan kebangsaan itu pada mereka, yang kemudian mereka menyebut sebagai bangsa Indonesia, adalah karena faktor kemanusiaan dan keadilan, bukan karena faktor keturunan dari kakek moyang yang sama sebagaimana faktor yang telah membentuk bangsa bagi selain bangsa Indonesia.
Tekat yang bulat untuk menghapus penjajahan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan tersebut telah memotivasi perjuangan kemerdekaan, meski berlangsung dalam waktu yang sangat lama dan penuh dengan dinamika, namun demikian mereka tetap konsisten meski acapkali ditimpa resiko yang secara normal tak tertahankan. Perjuangan yang berlangsung sangat lama telah menelan sangat banyak energi dan sangat banyak ongkos yang harus dibayar, terutama ongkos sosial, namun pada akhirnya perjuangan tersebut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H