Mohon tunggu...
Fitri Riama
Fitri Riama Mohon Tunggu... -

Muslimah. Suka bersepeda dan jalan-jalan. Ingin berbagi cerita dan pengalaman lewat tulisan. Salam karya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Kenangan

19 Desember 2016   19:00 Diperbarui: 19 Desember 2016   19:11 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih bersama hujan disenja ini.Agak kecewa memang, namun aku masih menyukainya. Hujan ini selalu mengingatkanku dengan masa kecil yang bahagia. Penuh canda tawa. Hujan ini pulayang selalu membangkitkan semangatku. Sama seperti senja dengan paduan warnanya. 

Masih sama sepertihujan-hujan yang lalu. Aku pasti menengadahkan tangan dan menatap bulir-bulir air yang menetes.Tanganku pun telah sepenuhnya basah. Sebasah hatiku yang mulai dingin karenanya. Pikiranku pun mulai berkelana.Entah sampai kapan aku akan bertahan disini? Mungkinkah seperti bulir hujan yang lekas jatuh? Mungkinkah seperti dinginnya hujan yang sejuk menghapus keraguan? Atau mungkin seperti kenangan ini yang selalu terkenang? Aku sunggguh tak tahu. Terkadang jiwa inimerajuk untuk pergi saja. Namun hati tetap terpaut pada isyarat mimpi yang berkembang bersama segelintir harap yang bertahan biar tak pudar. 

Gerimis masih belumberhenti. Seperti nasihat Bapak dan Mamak tempo hari. "Jangan lupa sholatNak!" Satu pesan mereka yang tulus. Jelas sekali terngiang di telingaku sejelas wajah mereka yang tambah keriput karena usia dan pahitnya hidup. 

Bapak. Anak keenam dari tujuh bersaudara. Hidup sederhana dan dituntut memahami hidup yang memang tak mudah. Tak pernah ada uang yang lebih untuk sekolah apalagi sekedar jajan. Dari kecilnya terlatih untuk mencari recehan uang dari membantu pekerjaan tetangga.Entah menjual es kucir. Entah membungkus rambak. Entah memintal benang.Semuanya beliau kerjakan untuk membiayai sekolah. Seringkali saat teman sebaya sudah berangkat sekolah. Beliau masih susah payah menggelar rambak yang telah setelai dipotong. Malu benar katanya. Namun apa daya semua harus dilakukan.Berawal dari sinilah mental bapak terbentuk. Tak pernah malu dengan kondisi yang ada.Tetap semangat dan pantang menyerah meski banyak teman yang mencibirnya. Satu pemikiran yang tertancap adalah aku ingin sekolah.

Berbeda lagi dengan Mamak. Anak pertama dari 4 bersaudara ini telah kehilangan ibunya sejak SMP. Dituntut menggantikan Nenek dengan tanggung jawab yang lebih besar.Menjaga adik-adik. Mamak pernah bilang ingin sekali melanjutkan sekolah. Beliau selalu iri tiap kali teman-temannya berangkat sekolah mengenakan seragam PutihAbu-abu dengan senangnya, bercanda bersama sedangkan ia mengurusi Adik-adik danharus bekerja untuk mencari uang biar bisa membantu kakek. Sakit katanya. Mimpiitu pupus karena tanggungjawab lain.

Posisiku kini tak jauh berbeda. Namun ini adalah pilihanku. Dan aku pun tak tahu akanbagaimana kelak. 

Selalu berharap yang terbaik? itu pasti! 

Melakukan yang terbaik? Itu harus!

Seiring redanya hujan yang menyisakan gerimis-gerimis ini. Keyakinanku kembali menemani harapan ini menuju hari esok yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun