Mohon tunggu...
Fitri Restiana
Fitri Restiana Mohon Tunggu... -

penulis,ibu rumah tangga, anggota IIDN. Motto : Menulis itu bagaikan tarikan nafas.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Duuh, Dokter Jangan Bikin Galau Dong!

12 Agustus 2014   00:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi siang saya ke dokter untuk memeriksakan diri. Beberapa bulan ini saya sering mengalami mimisan ditambah sakit kepala yang luar biasa. Setelah mengisi formulir pendaftaran dan menunggu lebih kurang setengah jam, saya pun dipanggil masuk oleh seorang asisten dokter yang cukup ramah walau terlihat agak tergesa.

“Selamat pagi, Dokter,” sapaku pelan. Soalnya sang dokter masih asyik coret-coret di kertas dan hanya menoleh sedikit ke arahku.

“Pagi, oiya maaf, ada keluhan apa, Mbak?” bergegas sang dokter muda merapihkan kertas-kertas yang ada di mejanya dan memberikan senyuman manis.

Kalau dilihat-lihat sih, mungkin usianya 13 tahun dibawahku. Ya sekitar23 atau 25 lah. Masih sangat muda. Dengan kacamata model terbaru dan tanpa menggunakan baju dinas berwarna putih, dokter itu cukup ramah memberikan pelayanan.

“Begini, Dokter. Saya sering mimisan diiringi sakit kepala yang luar biasa” Saya mulai menjelaskan.

“Oke, ditensi dulu ya. Mmh, normal kok, 120/90. Sejak kapan sering mimisannya?”

“Lebih kurang 3 bulan ini sudah 5 kali saya mimisan”

“Wadduh, kok sering sekali. Apa sewaktu kecil pernah terkena benturan atau dipukul?” Dokter mulai menaruh perhatian dengan keluhanku.

“Nggak, Dok. Memangnya bisa berdampak dengan mimisan di usia 30an begini ya, Dok?” Walau khawatir, aku tetap tenang dan berusaha tidak gupek. Tapi, lha, kok malah dokternya yang seperti merasa ketakutan ya !.

“O iya, itu bisa terjadi. Duh gimana ya, Bu. Kalau nggak pernah mengalami sesuatu lalu tiba-tiba mimisan, itu berbahaya sekali. Sekarang banyak penyakit yang belum bisa terdeteksi dengan cepat. Sebaiknya ibu harus konsultasi ke dokter ahli. Ini berbahaya, Bu !”

Glek. Saya yang tadinya berusaha tenang, mau tidak mau jadi gelisah mendengarkan ucapan sang dokter.

“Maaf, separah apa ya, Dok?”

“ Ya mungkin ada benjolan atau penyakit lain Saya belum bisa memberi diagnosa. Jadi saya kasih rujukan saja ke poli THT di RS A ya, Bu”

“Baiklah, Dok.”Saya benar-benar pasrah dengan keputusan sang dokter muda.

Setelah menerima resep, dengan lesu dan galau saya pun langsung menuju RS A.Sambil mengendarai motor, saya dihantui pikiran-pikiran negatif tenang penyakit ini. Bagaimana kalau ternyata saya mengidap kanker atau tumor? Bagaimana penanganannya? bagaimana dengan suami dan anak-anak saya? Lalu kalau saya dipanggil Sang Kuasa, bekal apa yang akan saya bawa kelak? Duh, pikiran tambah kacau mengingat raut muka sang dokter muda yang terlihat khawatir dan gupek.

Setiba di RS A, ternyata yang menangani saya seorang dokter berusia 40 tahunan. Gagah, bersih walaupun tida ganteng, hehehe. Dengan ramah dan penuh senyuman, dokter itu pun memeriksa hidung, telinga dan tenggorokan. Keluhan yang saya paparkan sama persis dengan keluhan pada dokter muda. Tapi tanggapannya, sungguh sangat berbeda!

“Oo, kita rontgen dulu ya Bu. Memang cuaca yang silih berganti ini banyak menimbulkan penyakit. Sabar ya. Saya tulisrujukan rontgennya”. Walaupunbelum tahu hasilnya, tapi setidaknya saya tidak merasa terhakimi dan dihantui pikiran buruk tentang dampak mimisan saya.

“Berdasarkan hasil rontgen, Ibu mengalami sinus ringan. Saya sarankan Ibu tidak mengkonsumsi makanan pedas dan dingin dan banyak makan buah dan minum air putih. Hindari juga cuaca yang terlalu panas ya. Ini saya kasih resep obatnya”.

Walaupun sinus tidak bisa dipandang enteng, saya bersyukur Allah ‘hanya’ menguji dengan sinus, bukan penyakit yang saya takutkan selama di perjalanan tadi.

Intinya, bukan masalah penyakit yang saya derita. Tapi pada penanganan berbeda dari sang Dokter. Dokter muda harusnya belajar untuk memberi ‘obat penenang’ pada pasien. Saya nggak habis pikir seorang dokter bisa memberi advice dengan tatapan wajah yang khawatir dan tidak menenangkan sedikitpun. Bagaimana kalau selama di perjalanan tadi saya mengalami kecelakaan karena pikiran kacau akibat obrolan dengan sang dokter muda?

Menjadi pembelajaran, khususnya dokter muda untuk belajar menangani emosi pasien, tidak saja hanya memberi resep obat penenang, tapi juga mengeluarkan kata-kata bijak yang mungkin lebih ampuh dari obat penenang hasil racikan apoteker. (Fifinusantara10@gmail.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun