Mohon tunggu...
Fitri Restiana
Fitri Restiana Mohon Tunggu... -

penulis,ibu rumah tangga, anggota IIDN. Motto : Menulis itu bagaikan tarikan nafas.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Investasi Sosial Vs Intimidasi Politik

18 April 2014   05:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:32 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INVESTASI SOSIAL VS INTIMIDASI POLITIK

Pak Amin termenung di dalam kamar. Sendiri dalam gelap. Kecewa, sedih, marah. Dia tak habis pikir, bukankah mereka yang memintanya untuk menjadi wakil rakyat?. Mereka sendiri yang berjanji akan memberikan seluruh suara padanya di pesta demokrasi kemarin. Pak Amin adalah seorang aktivis sosial di kampungnya. Selain sebagai pengusaha mebel kelas menengah, dia tak segan-segan membantu masyarakat yang mengalami kesulitan. Di tengah kemajemukan, dia bisa menyatukan masyarakat dalam bingkai kebersamaan. Tak ada pangkat dan jabatan. Dia bukan Ketua RT atau Kepala Lingkungan. Walaupun demikian, dia menjadi orang pertama yang didatangi ketika ada wabah DBD, banjir, bahkan kemalingan. Dengan investasi sosial yang ditanam sejak bertahun lalu, mengapa batas peta politik menjadi samar dan tak terdeteksi?.

Peta Politik
Beberapa partai politik menargetkan setidaknya 15-20 % orangnya untuk duduk di kursi empuk Dewan. Selain untuk membawa misi partai, tujuannya adalah mengangkat nama partai pada pilpres yang akan diadakan pada bulan Juli 2014. Partai dan kadernya akan mati matian dan menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Ya, itulah politik yang terjadi saat ini. Menghalalkan berbagai cara. Serbuan pamflet, spanduk dan poster jauh sebelum masa kampanye, adalah cara yang paling sering dilakukan caleg agar lebih dikenal masyarakat. Untuk mereka yang sudah terpilih di 5 tahun sebelumnya, mungkin tidak terlalu kesulitan, walau ada kemungkinan mereka tidak akan terpilih lagi karena inkonsistensi terhadap kontrak politik yang mereka buat dengan konstituennya. Tapi untuk caleg baru, yang tiba-tiba namanya diusung parpol dengan pertimbangan kekerabatan atau kemampuan financial, mereka harus berjuang lebih intens, lebih keras, bersaing dengan pemain lama atau sesama pemain baru. Dalam satu partai pun terjadi perebutan suara antar caleg. Ada deal-deal politik apabila jumlah suara yang diperoleh tidak signifikan dengan target yang ingin dicapai. Peta politik seperti ini pada akhirnya membuat masyarakat meraba-raba apakah calonnya akan bisa mewakili kepentingannya dengan jumlah suara yang hampir cukup.

Intimidasi amplop dan sembako
Dalam satu statemen, seorang tokoh dari partai Z mengatakan tidak ada intimidasi bentuk apapun untuk meloloskan calonnya menuju gedung parlemen dan mendudukkan ‘jago’nya di kantor gubernur, itu adalah cara primitive dan tidak cerdas. Sekarang mari kita simak fenomena politik beberapa waktu yang lalu hingga saat ini. Hampir seluruh media mengungkapkan fakta, banyaknya intimidasi yang dilakukan para caleg dan tim suksesnya. Intimidasi adalah perbuatan menakut-nakuti, membujuk dengan tekanan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan mematahkan semangat lawan. Banyak caleg yang tidak hanya tebar pesona, tapi juga tebar uang, sarung, baju, sembako hingga fasilitas hiburan yang dilakukan justru di masa tenang, malah beberapa jam sebelum pencoblosan.

Pendekatan yang dilakukan pun terbilang kasat mata. TS dari caleg X mendatangi tetangganya untuk mencoblos caleg yang bersangkutan dengan kompensasi amplop putih berisi 30-50 ribu. Atau ibu-ibu yang sedikit malu- malu menyodorkan sebuah kartu nama dan mengiming-imingi rekannya dengan sebuah baju kaos dan paket sembako seharga 50 ribu. Lalu merekapun dengan aktif dan tegang mengawal proses penghitungan suara di TPS masing-masing, menunggu hingga selesai. Apabila suara yang diperoleh memenuhi target, maka mereka akan mendatangi caleg untuk menerima ‘ucapan terimakasih’. Namun apabila kebalikannya, maka sang TS harus mempertanggungjawabkannya dan mencari siapa dan kemana suara yang ‘hilang’ dan siap menerima konsekuensi atas kerjanya.

Mengapa seseorang bisa dan mau menentukan pilihannya berdasarkan sembako dan amplop? Apakah mereka tidak peduli dan paham, bahwa para caleg itu harus dengan santun dan adil membawa aspirasi mereka 5 tahun kedepan? Proses politik yang seharusnya dilakukan dengan cara elegan dan benar, justru dinodai oleh mereka yang katanya ‘cerdas’ dan ‘bermartabat’.

Pendidikan dan kesadaran politik masyarakat
Jadi, tidak hanya pemberlakuan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD saja yang harus ditegakkan, tapi memberikan kesadaran politik kepada mayarakat dari segala lapisan. Mendatangi konstituen secara rutin, bicara dan mendengar aspirasi mereka. Bukan tiba-tiba masuk ke lingkungan mereka dengan menawarkan dosa dalam amplop. Kalau masyarakat sudah tahu mudharat yang akan ditimbulkan, insyaAllah tidak akan tergoda oleh iming- iming dari bisikan iblis manapun.

Kisah Pak Amin, menjadi fenomena yang sering terjadi setiap menjelang pemilihan. Semoga keikhlasan melakukan investasi sosial yang dilakukan Pak Amin, membuka mata masyarakat untuk cerdas memilih siapa pejuang sebenarnya, hingga tak akan ada peyesalan di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun