Pada Maret, Mei, dan Juni 2016 tercatat sejumlah kapal-kapal nelayan Tiongkok berlayar memasuki wilayah ZEE Indonesia dan melakukan sejumlah kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing). Insiden tersebut kembali terjadi pada tahun 2019 dan 2020, dimana kali ini tidak hanya kapal-kapal nelayan yang terlibat, tetapi coast guard Tiongkok juga melakukan pelanggaran serupa. Berbagai insiden pelanggaran di atas terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara Tiongkok dan Indonesia. Pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa kapal-kapal nelayannya berhak untuk berlayar dan coast guard-nya berhak berpatroli di area nine dash line. Sementara itu, pemerintah Indonesia tidak mengakui nine dash line dan menganggap bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran di wilayah ZEE Indonesia, yaitu di perairan Laut Natuna Utara.
Merespon hal itu, pada akhir Mei 2020 telah mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB yang berisi pernyataan bahwa pemerintah Indonesia mendukung putusan PCA tahun 2016 dan menganggap bahwa peta "nine dash line" yang dibuat China tidak memiliki landasan hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS 1982. Surat ini sedikit banyak menunjukkan perubahan sikap Indonesia atas sengketa diLCS.
Kedaulatan Indonesia Terancam?
Belum selesai konflik nine dash line, Tiongkok kembali membuat kisruh dengan dikeluarkanya peta baru ten dash line yang diberi mana Standar Map Edition 2023. Hal tersebut tentu mendapat respon tajam dari Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, sebab pada peta baru itu memuat wilayah laut yang sah menjadi bagian Indonesia diklaim sebagai bagian dari Tiongkok. Klaim Tiongkok di LCS berupa nine dash line (sekarang ten dash line) jelas "mencaplok" ruang maritim Indonesia yang sah, sebab klaim tersebut tidak berdasarkan UNCLOS.
Memang sudah sepatutnya pemerintah Indonesia perlu bersikap tegas, agar tidak dianggap sejutu atas klaim China yang tidak berdasarkan hukum itu. Indonesia sebagai negara non-claimant atau negara yang tidak ikut bersengketa di LCS, harus konsisten menyampaikan keberatan atas peta baru tersebut. Menanggapi permasalahan ini bukan hanya sebagai sengketa terkait perikanan, tetapi lebih penting lagi sebagai permasalahan pelanggaran maritim, pelanggaran hak berdaulat, dan kedaulatan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada kejelasan.
Protes diplomatik harus terus dilakukan dengan keras dan berkesinambungan, selama Tiongkok bertahan dengan klaimnya. Selain itu, perlu melakukan peaceful display of sovereighty di daerah Natuna yang terhimpit dengan klaim ten dash line, dengan menghadirkan patroli berkesinambungan, pemantauan radar yang efektif dan berdaya jangkau tinggi, dan Pembangunan pangkalan TNI AL di daerah terdekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H