Mohon tunggu...
Fitri andela
Fitri andela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menyukai film dan drakor dan mencoba sesuatu yang menarik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seberapa Inklusif Dunia Pendidikan Kita? Menerobos Hambatan dan Merajut Harmoni di Sekolah

2 Januari 2025   16:08 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:08 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: pexels. 

Inklusivitas dalam dunia pendidikan bukan hanya masalah kebijakan, tetapi juga nilai dasar yang mendasari kesetaraan, keadilan, dan kesempatan bagi setiap individu untuk berkembang. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, inklusivitas menjadi sangat penting karena negara ini kaya akan keberagaman, baik dalam hal budaya, kemampuan, agama, hingga kondisi sosial-ekonomi. Pendidikan yang inklusif berarti bahwa semua siswa, tanpa memandang latar belakang mereka, memiliki hak untuk mengakses pendidikan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun, seberapa inklusif dunia pendidikan kita saat ini? Apakah hambatan-hambatan yang ada telah berhasil diterobos?

Pendidikan inklusif di Indonesia masih berada dalam tahap perkembangan yang cukup signifikan, meskipun ada upaya yang terus dilakukan untuk memperbaiki sistem ini. Di satu sisi, Indonesia memiliki dasar hukum yang mendukung pendidikan inklusif, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memberikan landasan bagi perlakuan yang setara terhadap semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas atau berasal dari latar belakang sosial yang terpinggirkan.  Namun, meskipun ada payung hukum ini, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari sepenuhnya inklusif. Sejumlah tantangan struktural dan sosial masih menghambat tercapainya sistem pendidikan yang benar-benar dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.

Salah satu hambatan utama yang perlu diatasi adalah kurangnya pelatihan yang memadai bagi guru dalam menerapkan pendekatan inklusif. Penelitian yang dilakukan oleh Biantoro & Setiawan (2021) menunjukkan bahwa banyak guru di Indonesia yang belum dibekali dengan pengetahuan atau keterampilan yang cukup untuk menghadapi siswa berkebutuhan khusus. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh minimnya pelatihan profesional yang disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan inklusif. Tanpa pemahaman yang memadai tentang cara mengadaptasi materi ajar dan strategi pembelajaran, guru-guru cenderung mengajar dengan pendekatan yang seragam, yang justru memperburuk ketidaksetaraan dalam proses pembelajaran dan memperbesar kesenjangan antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, pelatihan yang lebih terfokus pada pendidikan inklusif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap siswa, tanpa terkecuali, dapat menerima pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Menurut laporan studi Sharma et al. (2021) keterbatasan pelatihan ini sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa dengan kebutuhan khusus. Dalam studi mereka, ditemukan bahwa banyak guru merasa tidak siap untuk mengelola kelas yang beragam, terutama ketika menghadapi siswa dengan gangguan fisik atau kognitif. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus sering kali kesulitan beradaptasi dengan cara pengajaran yang konvensional, dan ini menyebabkan mereka merasa terisolasi.

Selain itu, kebijakan pendidikan di beberapa daerah masih belum sepenuhnya mendukung praktik inklusif. Menurut Slee (2018), kurikulum yang seragam dan tidak fleksibel sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan siswa yang beragam. Padahal, kurikulum seharusnya dirancang untuk mengakomodasi berbagai gaya belajar dan kemampuan siswa, sehingga setiap individu dapat berkembang secara optimal. Di Indonesia, kurikulum yang digunakan di sebagian besar sekolah masih terpusat pada pencapaian standar yang sama bagi semua siswa, tanpa adanya pertimbangan khusus terhadap keberagaman gaya belajar dan kemampuan siswa. Sari & Hendriani (2021) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa sistem kurikulum yang kaku cenderung membatasi kreativitas guru dalam mengakomodasi kebutuhan beragam siswa. Kurikulum tersebut tidak dapat memberikan ruang bagi penyesuaian yang diperlukan untuk mendukung siswa dengan kebutuhan khusus atau gaya belajar yang berbeda.

Selain kurikulum, kebijakan pendidikan di beberapa daerah masih belum mendukung praktik inklusif. Sebagai contoh, meskipun ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, implementasinya di lapangan sering kali terkendala oleh kurangnya perhatian pada penyediaan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Sekolah-sekolah masih banyak yang tidak memiliki fasilitas untuk mendukung siswa dengan disabilitas, seperti aksesibilitas untuk kursi roda, ruang kelas yang ramah bagi penyandang disabilitas, serta alat bantu pendidikan yang sesuai. Lebih lanjut, adanya stereotip dan stigma terhadap siswa berkebutuhan khusus atau siswa dari komunitas tertentu juga menjadi tantangan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif.

Meskipun tantangan tersebut besar di sisi lain, praktik-praktik baik juga mulai bermunculan di beberapa sekolah. Sebagai contoh, implementasi program "buddy system" yang menghubungkan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa lain telah terbukti meningkatkan rasa kebersamaan dan empati antar siswa (Smith & Barr, 2019). Dalam Penelitian Wahyudi (2020) penerapan program "buddy system" merupakan praktik yang baik dan diadopsi oleh beberapa sekolah di Indonesia. Program ini melibatkan siswa yang lebih "terampil" dalam membantu teman-teman mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Melalui program ini, siswa dengan kebutuhan khusus merasa lebih diterima, dan rasa kebersamaan antar siswa pun meningkat. Program ini tidak hanya membantu siswa dengan disabilitas, tetapi juga memperkaya empati dan pemahaman sosial antar siswa.

Selain itu, penggunaan teknologi pendidikan semakin berkembang di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Setiawan & Apsari (2019) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa beberapa sekolah telah mulai memanfaatkan perangkat lunak atau aplikasi yang dirancang khusus untuk siswa dengan gangguan penglihatan atau pendengaran. Misalnya, aplikasi yang dapat membantu siswa dengan gangguan pendengaran untuk mengikuti pelajaran melalui teks atau penggunaan bahasa isyarat. Teknologi ini memungkinkan siswa dengan disabilitas untuk belajar dengan lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi mereka dalam kegiatan belajar mengajar. Langkah-langkah seperti ini menunjukkan bahwa harmoni di sekolah dapat dirajut dengan menciptakan lingkungan yang mendukung kolaborasi dan penghargaan terhadap perbedaan. Tidak hanya itu, beberapa sekolah juga telah mulai menggunakan teknologi pendidikan untuk mendukung inklusivitas, seperti perangkat lunak yang dirancang untuk siswa dengan gangguan penglihatan atau pendengaran.

Pemerintah dan pemangku kebijakan juga memainkan peran penting dalam mendukung inklusivitas. Menurut laporan dari UNESCO (2020), negara-negara dengan kebijakan pendidikan yang progresif cenderung lebih berhasil dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Salah satu contohnya adalah alokasi dana khusus untuk pelatihan guru dan penyediaan alat bantu belajar, yang dapat membantu menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif. Rosyidah (2021) dalam studinya menegaskan pentingnya pendidikan berkelanjutan bagi guru untuk menguasai keterampilan yang relevan dalam menghadapi kelas yang beragam. Selain itu, kerjasama lintas sektor, termasuk dengan organisasi non-pemerintah dan perusahaan teknologi, dapat memberikan solusi inovatif untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan bagi semua siswa.

Untuk menerobos hambatan dan membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif, diperlukan kerjasama antara pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan inklusif dengan menyediakan sumber daya yang memadai, seperti pelatihan guru, fasilitas pendukung, dan alokasi anggaran yang cukup. Guru juga harus dibekali dengan kompetensi pedagogi inklusif, termasuk kemampuan untuk mengelola kelas yang beragam secara efektif. Sementara itu, orang tua perlu dilibatkan dalam proses pendidikan agar mereka dapat mendukung anak-anak mereka dengan lebih efektif, termasuk melalui penyuluhan dan forum diskusi komunitas.

Selain langkah-langkah tersebut, penting untuk menciptakan budaya sekolah yang mendukung inklusivitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mempromosikan nilai-nilai keberagaman dan toleransi melalui kegiatan ekstrakurikuler, seminar, dan proyek kolaboratif antar siswa. Pendidikan karakter juga dapat menjadi landasan dalam membangun kesadaran akan pentingnya inklusivitas sejak dini. Dengan demikian, sekolah tidak hanya menjadi tempat untuk belajar, tetapi juga menjadi arena untuk membentuk generasi yang menghargai perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun