Organisasi Kesehatan Dunia (2011) mengonfirmasi bahwa pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang menjadi permasalahan global. Secara umum, pelecehan seksual merujuk kepada perilaku yang ditandai oleh komentar-komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas. Gelfand, Fitzgerald, & Drasgow (1995) menggambarkan pelecehan seksual sebagai tindakan dengan unsur seksual yang tidak dikehendaki yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok terhadap individu.
   Studi yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa pelecehan seksual seringkali terjadi di lokasi-lokasi yang dianggap sebagai tempat yang 'aman' seperti sekolah, perguruan tinggi, asrama mahasiswa, dan tempat kerja. Pelecehan ini umumnya dilakukan oleh individu yang dikenal korban, seperti teman, rekan kerja, guru/dosen, dan sebagian kecil di lingkungan publik (WHO, 2012). Merujuk kepada penelitian dari berbagai negara, United Nations Development Fund for Women (UNIFEM) menjelaskan bahwa pelecehan seksual memiliki tingkat kejadian yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial yang dikenal oleh korban maupun di tempat umum, sehingga hal ini memerlukan perhatian serius dan tindakan penanganan yang mendalam.
   Di Indonesia, pelecehan seksual merupakan fenomena sosial yang sering terjadi dalam masyarakat, tetapi jarang sekali dilaporkan kepada otoritas. Berita yang muncul dalam media tentang kasus pelecehan seksual, belakangan ini semakin mengingatkan masyarakat akan risiko kekerasan terhadap mahasiswa di lingkungan kampus, terutama perempuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh korban yang tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban pelecehan seksual, ketidakberanian untuk melaporkan karena takut akan dampak negatif yang mungkin terjadi, atau kurangnya efektivitas sistem perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
   Pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswa di perguruan tinggi, dapat menjadi hambatan atau ancaman terhadap pencapaian akademik mereka, bahkan dapat menyebabkan mereka putus sekolah dan merusak citra lembaga pendidikan tersebut. Dampak yang lebih jauh adalah menghambat perkembangan sumber daya manusia yang berkualitas karena pelecehan seksual di tempat kerja atau di sekolah memaksa korban untuk menjawab tuntutan atau tindakan seksual, seperti yang dilakukan oleh guru atau atasan, demi kepentingan studi atau pekerjaan mereka.
   Fairchild & Rudman (2008) mengungkapkan bahwa pelecehan seksual dapat menghasilkan perasaan ketidaknyamanan, ketakutan, kecemasan, intimidasi, rasa malu, trauma, atau bahkan penyalahgunaan diri bagi korban. Dampak yang lebih serius adalah pengalaman sexual objectification di mana korban merasa malu terkait penampilan fisiknya dan secara berlebihan menilai diri mereka. Selain itu, korban juga dapat merasa takut akan potensi menjadi korban perkosaan, yang membatasi kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas sosial dan dapat menghambat peran mereka dalam kehidupan sosial.
   Dalam konteks pelecehan seksual, bukan kuantitas yang menjadi fokus utama, tetapi peristiwa itu sendiri yang menjadi sangat penting. Mengingat korban yang mengalami pelecehan seksual akan merasa trauma dan terus mengingat kejadian yang menimpanya. Konselor memberikan solusi konseling traumatik kepada konseli yang diharapkan membawa pemulihan kembali, agar konseli tersebut dapat menerima diri, memaafkan dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd.Â
2. Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd.
Referensi:
Fairchild, K. & Rudman, L.A. (2008). Everyday stranger harassment and women'sobjectification. SocJust Rest, 21, 338-357.