Manusia sering kali mencari pembenaran atas kesalahan yang mereka lakukan. Sebagian dari mereka bahkan tidak ragu untuk menggunakan agama sebagai tameng atas perbuatan buruknya. Ketika mereka berbuat salah, dalil dan ayat dijadikan perisai untuk membenarkan tindakan mereka. Namun, saat musibah atau konsekuensi dari perbuatan mereka datang, mereka justru menyalahkan takdir dan mempertanyakan keadilan Tuhan. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi terus terjadi dari zaman ke zaman. Inilah bentuk nyata kemunafikan: dosa ditutupi dengan iman, sementara takdir dijadikan kambing hitam.
1. Ketika Dosa Dibenarkan dengan Agama
Salah satu ciri khas manusia munafik adalah kemampuannya membelokkan ajaran agama demi kepentingan pribadi. Mereka melakukan kesalahan, tetapi alih-alih mengakui dan bertobat, mereka malah mencari ayat atau dalil yang dapat mendukung tindakan mereka.
Contoh Kasus:
Seorang pejabat yang terbukti melakukan korupsi, tetapi mengklaim bahwa ‘rezeki sudah diatur oleh Tuhan’, seolah-olah mencuri uang rakyat adalah bagian dari takdir ilahi. Ada juga seorang pemimpin agama yang menipu pengikutnya dengan dalih ‘dana sumbangan untuk perjuangan’, padahal ia menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi.
Mereka lupa bahwa agama bukan hanya sekadar teks yang bisa dimanipulasi sesuai keinginan, tetapi memiliki esensi yang harus dihayati dengan hati yang bersih. Sejatinya, agama adalah pedoman untuk berbuat baik, bukan justifikasi untuk berbuat jahat.
2. Menyalahkan Takdir Saat Tertimpa Musibah
Ironisnya, orang-orang seperti ini sering kali tak mampu menerima konsekuensi dari perbuatannya sendiri. Saat hidup berjalan lancar, mereka menganggap itu sebagai hasil usaha dan doa mereka. Namun, ketika cobaan datang, mereka justru menyalahkan takdir dan merasa diperlakukan tidak adil oleh Tuhan.
Contoh Kasus:
Seorang pemuda yang malas belajar dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan hal-hal tidak bermanfaat. Saat gagal dalam ujian atau tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, ia berkata, “Ini memang takdir saya, hidup saya memang sudah ditentukan begini.” Padahal, kegagalannya adalah akibat dari pilihan yang ia buat sendiri.