Ahad (2/8/2020) saya menjadi host dalam acara bincang virtual bersama Arief Rosyid, satu di antara beberapa komisaris milenial di lingkup BUMN saat ini. Arief sendiri adalah Komisaris Bank Syariah Mandiri.
Arief Rosyid adalah sosok pemuda yang komplit, setidaknya bagi saya. Ia seorang dokter gigi, pengusaha, aktivis, pengurus masjid, penulis, dan pada ranah akademis, saat ini, ia menempuh kuliah S3 di Universitas Indonesia.
Arief mendirikan Merial Institute, Aktivis Milenial, Suropati Syndicate, dan masih tercatat sebagai Ketua Pemuda Dewan Masjid Indonesia. Pada tahun 2015, ia dipilih sebagai 70 Tokoh Berpengaruh di Indonesia versi Majalah Men's Obsession.
Arief mengamalkan apa yang selama ini ia katakan, terutama saat menjadi Ketua Umum PB HMI, yakni 'Keteladanan'. Pemuda hari ini minim keteladanan sehingga setiap kita perlu menjadi seorang yang teladan.
Saya pertama kali bertemu Arief Rosyid tahun 2010 di acara Training of Recruitment (ToR), semacam pelatihan menulis dan penerimaan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sulawesi Selatan, yang berlokasi di hutan pendidikan Tabo-Tabo, Kabupaten Pangkep. Waktu itu saya menjadi ketua panitia karena lebih dulu masuk FLP, dan Arief Rosyid sebagai peserta. Sebagai panitia, kami sangat senang, dan sebenarnya juga penasaran karena tahu bahwa Arief Rosyid adalah mantan Ketua BEM FKG dan Sekretaris HMI Cabang Makassar Timur.
Dalam perbincangan FLP Sulsel Talk kemarin, terungkap bahwa sebenarnya tulisan-tulisan Arief Rosyid sudah banyak terbit di koran sebelum akhirnya mencoba ikut pelatihan menulis. Namun, ia mengaku kepercayaan dirinya untuk terus menulis semakin meningkat setelah ikut kegiatan tersebut meski sampai sekarang ia masih menganggap tulisannya belum seberapa dibanding, misalnya yang ia sebut, Yudi Latif.
Arief mengaminkan ungkapan, "Seburuk-buruknya tulisan, lebih buruk apabila tidak dituliskan." Saya sendiri menangkap kesan, Arief memang sosok pembelajar dan haus ilmu. Sejauh ini Arief menerbitkan lebih dari 10 buku, seperti  "Yakin Demokrasi Sampai", "Merebut Optimisme", "Memilih Masa Depan", "Jalan Liku Jaminan Kesehatan Nasional", "JK Kembali ke Masjid", "Melayani Generasi", "Identitas Kita", dan terbaru adalah "BUMN Berakhlak".
Arief mengaku menulis sebagai media berbagi pikiran dan tidak dinafikan sebagai aktualisasi diri. Arief juga percaya bahwa memang menulis adalah pekerjaan keabadian. Ia menulis untuk mengabadikan momen-momen di dalam hidupnya, terutama dalam dunia aktivisme yang ia tempuh.
Bagi Arief, berorganisasi dan menulis adalah pekerjaan paruh waktu, tetapi dikerjakan dengan sepenuh hati. "Part time, but full heart," katanya. Â Ia pun percaya, "Jika kita mengurusi orang lain, Allah akan mengurus diri kita."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H