Pembicaraan tentang becak dan motor di jalan Ibukota kembali hangat dibicarakan. Gubernur Jakarta ingin memberdayakan para tukang becak yang selama ini masih eksis di Ibukota. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pembuktian janji kampanye terhadap wong cilik, terkhusus kepada para tukang becak.
Anies Baswedan mencoba menindaklanjuti kontrak politik dari Pak Jokowi, yang sewaktu  menjabat sebagai Gubernur Jakarta belum sempat menunaikan janjinya atas tukang becak.
Sebelum itu, wacana tentang pengendara sepeda motor mencuat lagi setelah MA mencabut Peraturan Gubernur yang dikeluarkan di era Ahok. Sewaktu itu Ahok selaku gubernur melarang pengguna sepeda motor melintas di jalan protokol MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat.
Becak dan motor adalah simbol dari rakyat menengah ke bawah yang bergulat di Ibukota. Maka sewaktu motor dilarang, Frans Magnis Suseno sampai-sampai menulis artikel berjudul "Perang Melawan Rakyat". Artikel itu mengkritik keras larangan sepeda motor dan dianggap sebagai kebijakan yang melawan rakyat.
Pelarangan motor dan becak berangkat dari pemahaman dan logika yang keliru. Becak dan motor dianggap sebagai biang kemacetan. Apa benar seperti itu?
Jika memakai logika pelarangan motor, maka seharusnya mobil pribadilah yang dilarang melintas di jalan protokol. Yakin dan percaya tidak akan ada kemacetan lagi.
Sayangnya, sebagian kelas menengah atas lebih peduli dengan dirinya sendiri. Sebagian mereka merasa bahwa Ibukota Jakarta hanya untuk orang berduit, punya mobil pribadi, dan sebagainya. Motor, juga becak, dituding sebagai perusak wajah kota.
Boleh dikatakan, sebagian kelas menengah atas lebih peduli dengan kota daripada manusia yang hidup di kota.
Solusi Kemacetan
Tetapi, pelarangan mobil pribadi pun juga tindakan yang tidak bijak. Solusi menangani kemacetan paling efektif  ialah dimulai dari penyediaan transportasi publik yang memadai. Transportasi publik ini harus aman, nyaman, dan terjangkau untuk semua golongan.