Namun demikian, terdapat beberapa pengecualian dalam penerapan sanksi administratif menurut Pasal 50A Cipta Kerja. Individu atau kelompok masyarakat yang telah tinggal di sekitar kawasan hutan selama 5 tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan, serta individu yang telah mendapatkan sanksi sosial atau adat, dikecualikan dari penerapan sanksi administratif. Hal ini mungkin menciptakan celah bagi aktor-aktor lain, seperti perusahaan atau pemodal, untuk terlibat dalam perambahan hutan melalui koneksi dengan masyarakat setempat.
Hal ini menggarisbawahi perlunya kehati-hatian dalam penerapan hukum yang adil dan konsisten dalam melindungi hutan dan lingkungan. Meskipun Undang-Undang Cipta Kerja memperkuat sanksi pidana terhadap perambahan hutan, adanya pengecualian tertentu mungkin memunculkan potensi keterlibatan aktor-aktor yang tidak mendapatkan sanksi serupa. Ini mengisyaratkan pentingnya menjaga keadilan dalam penerapan hukum untuk melindungi kelestarian lingkungan jangka panjang.
Undang-Undang Cipta Kerja telah membawa perubahan mendasar dalam paradigma manajemen hutan dan memunculkan pertanyaan penting mengenai akses yang adil serta pelestarian sumber daya alam. Evaluasi menyeluruh terhadap dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan dan keadilan bagi semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat yang tergantung pada hutan, sangat penting.
Lebih dari pertimbangan ekonomi, undang-undang ini harus mengedepankan konservasi lingkungan dan keadilan sosial. Menemukan keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan pelestarian ekologi menjadi kunci untuk mencapai keberlanjutan bagi negara dan masyarakatnya. Langkah-langkah konkret diperlukan untuk memastikan bahwa perubahan hukum memberikan perlindungan yang diperlukan bagi keberlanjutan hutan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada ekosistem ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H