Kamis senja, penghujung tahun 2010
Menyusuri ruas-ruas jalan menuju Ganesa ditemani hujan deras yang mengguyur Kota Kembang, aku pun menghabiskan hening yang tentram di angkot trayek caheum-ledeng yang terperangkap banjir juga macet.
Bibirku pucat, tubuhku kian menggigil, waktu memang sudah menunjukan 5 sore, namun entah kenapa senja itu kuhabiskan momen tersebut dengan bahagia.Sebab perjalanan ke kawasan ini memang seperti wisata hati, yaa gedung SBM ITB sekarang telah kulewati, di depanku jalanan gelap nyawang menyambutku. Angkot kian melambat lantas menepi di ruas jalanan itu, aku menitinya dengan kedua kakiku yang bergerak lincah meski dengan keadaan tubuh lemas, sungguh jalanan ini selalu menyuguhkan atmosfer yang sejuk diwarnai rimbun pepohon membuat perasaanku tergetar.
Tiba di sebuah kawasan yang selalu kurasai hembusan ruhiyah dari setiap penjurunya. Mesjid Salman ITB, setiap sudutnya menyimpan romantika yang pernah kurangkul. Kesedihan tiba-tiba menyeruak hati dan...air mata tak terbendung lagi. Senja itu menyibakan lembaran masa lalu pada setiap jengkal surau itu, setiap minggunya lingkaran-lingkaran majelis ilmu digelar, yang lebih membahagiakan ketika rangkulan kerinduan diiringi senyuman tersungging dari adik, ya mereka memanggilku “kaka”.
Disini juga selalu ada sahabat yang bisa menerima segala kekuranganku, membuka tangannya lebar-lebar lalu menuntunku untuk menemukan cahayaMu. Ketika tak ada lagi harap, mereka selalu meminjamkan bahunya untuk menumpahkan luahan rasa. Itulah ruh-ruh kita yang saling menyapa, berpeluk mesra, dengan iman yang menyala.
Bangunan sederhana disampingnya begitu artistik dihiasi ornamen kayu meski terlihat usang oleh waktu, di depanya taman rumput diwarnai perdu cantik hanya ada di komplek Mesjid Salman ini, semua kemasan alam yang indah itu membungkus sebuah gedung yang sangat penting dalam hidupku. “Gedung Kayu”, begitulah para aktivis menyebutnya. Gedung dengan spirit dramatis yang telah mengubah hidupku begitu drastis.
Namun ternyata begitu senja aku menginsafi semuanya, seperti sekarang langkahku terhenti di depan gedung kayu, ternyata aku telah melewatkan mejelis ilmu. Ya aku sadar betapa banyak momen yang kusia-siakan untuk merasai persaudaraan suci, senikmat berbagi, sehangat semangat beriringan bersamamu sahabat.
Waktu memang telah berlalu, tapi tak mampu kupejamkan mata ini yang dirundung rindu, pada wajah kalian yang selalu mengingatkanku akan surga. Bibirku yang kelu ini tak sempat berucap “aku mencintai kalian karena allah sekarang, nanti dan selamanya”. Sahabat, dimanapun kalian berada kita masih bisa melihat langit yang sama.
Hmm...Memoar haru biru itu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H