Contoh kasus terbaru dan paling heboh di media sosial adalah kasus yang menimpa, Â ahmad dhani dan buni yani. Musisi Ahmad Dhani telah divonis 1 tahun 6 bulan penjara pada Senin (28/1/2019), dalam perkara ujaran kebencian yang dilakukannya melalui media sosial. Setelah vonis yang dijatuhan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, Dhani pun dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang untuk menjalani hukuman. Vonis yang diterima Ahmad Dhani ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 2 tahun penjara.Â
Kasus ini bermula saat Dhani dilaporkan ke polisi atas sejumlah twit yang dianggap  kontroversial di akun Twitter @AHMADDHANIPRAST. Dalam twit yang ditulis pada Februari hingga Maret 2018 itu Ahmad Dhani dinilai menyebarkan ujaran kebencian terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pelapor adalah pendiri BTP (Bersih Transparan Profesional) Network atau jaringan pendukung Ahok. Jack Boyd Lapian.Â
Dalam putusan majelis hakim, Ahmad Dhani terbukti melakukan tindak pidana yang diatur ancaman hukuman pidana pada Pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kemudian untuk kasus buni yani, Majelis hakim menyatakan Buni Yani terbukti bersalah. Mejelis hakim menilai Buni terbukti melawan hukum dengan mengunggah video di akun Facebook-nya tanpa izin Diskominfomas Pemprov DKI. Posting-an itu berupa potongan video pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 27 September 2016, yang diunggah di akun YouTube Pemprov DKI Jakarta. Buni Yani didakwa pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kasus sebelumnya yang menimpa guru Baiq Nuril yang sampai di meja persidangan Mahkamah Agung (MA). Baiq Nuril divonis bersalah oleh MA ditingkat kasasi. Kasusnya adalah bahwa nuril yang seorang ibu dari anak balita sekaligus tenaga guru honorer beberapa kali dihubungi oleh seorang kepala sekolah dan kerap membicarakan hal-hal tak senonoh yang tidak seharusnya.Â
Soal penyebaran konten pornografi yang kemudian menjerat Nuril lewat Pasal 27 ayat 1 UU ITE 19 Tahun 2016. Ada tiga unsur pidana dalam pasal ini yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Padahal pada pengadilan negeri nuril dinyatakan menang karena rekaman yang berisi percakapan dengan atasannya tersebut disalin dan disebarkan oleh orang lain.
Masih banyak lagi kasus lain yang tidak mungkin dituliskan semuanya disini, pada intinya tidak ada keadilan dan kemanfaatan hukum. Yang lebih parah lagi banyak kasus yang hampir serupa tetapi tidak diproses secara hukum. Â Yang menyedihkan telah terbangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, penegak hukum dan pemerintah.Â
Hal ini diperkuat oleh beberapa kasus yang melibatkan pihak pemerintah tidak diproses secara serius tetapi apabila hal tersebut menimpa pihak oposisi maka prosesnya berjalan cepat. Fadli Zon contohnya telah melaporkan Sembilan kasus, tetapi sampai dengan sekarang belum diproses. Undang-undang ITE seakan-akan telah beralih fungsi menjadi undang-undang ujaran kebencian, sehingga siapa saja yang dirasa menebar kebencian dilaporkan dan dituntut dengan undang-undang ITE.Â
Sebenarnya ujaran kebencian telah disebutkan dalam KUHP yaitu pasal 154 sampai 158. Tetapi pasal ini adalah dari belanda yang disebut juga pasal kolonial yang membatasi hak orang untuk berpendapat dan mempertahankan pemerintah, pasal tersebut dibuat oleh belanda sementara di Belanda sendiri tidak memberlakukannya.
Menurut Professor Andi Hamzah Seharusnya ujaran kebencian tidak dimasukan kedalam undang-undang administrasi tetapi dialihakan ke restorative justice (Penyelesaian masalah pidana secara perdata).Â
Karena dalam hal ujaran kebencian sifatnya menyerang individu, golongan, ras, agama, etnis suku dan lain-lain, yang dilakukan oleh individu seharusnya jika ada yang merasa dirugikan maka ditempuh secara perdata kepada individu yang menyerang. Sebab terlalu banyak permasalahan dinegeri ini yang lebih serius dari perang kata-kata yang sebenarnya dapat diselesaikan secara perda (kekeluargaan).