Perekonomian informal, sebagaimana didefinisikan dalam jurnal Astrid Amalia, adalah kumpulan usaha, buruh, dan kegiatan yang beroperasi di luar batasan undang-undang ketenagakerjaan daerah serta produk yang dihasilkannya. Contoh kategori pekerja tertentu yang bekerja di sektor informal dan pekerja informal yang bekerja di luar sektor informal disajikan dalam kerangka Ralf Hussmanns, antara lain:
1. Mereka yang pekerjakan di sektor informal,meliputi:
-Karyawan yang bekerja untuk dirinya sendiri di bisnisnya sendiri
-Pekerja di sektor informal,
- meliputi pekerja keluarga, pemberi kerja di usaha informal, dan anggota koperasi informal serta jaringan produsen
2. Pekerja informal yang bekerja di luar sektor informal, khususnya:
- Pekerja pada sektor formal yang tidak terlindungi oleh perlindungan sosial, tidak terdaftar secara resmi, atau tidak mendapatkan hak pekerja sepertidi gaji tahunan atau cuti sakit yang tetap dibayar,
- Pekerja yang rumah tangga bayaran yang tidak terlindungi dan tidak mendapat hak-hak pekerja seperti di atas,
- Anggota rumah tangga yang dipekerjakan di perusahaan formal (dalam Noeraini, Fakultas, and Universitas 2013).
Agus Joko kemudian menulis dalam jurnal tersebut bahwa dinamika sektor informal Indonesia tidak mungkin dipisahkan dari proses dan paradigma pembangunan yang telah diterapkan selama ini. Pada kenyataannya, ketimpangan sosial dipengaruhi oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dulunya lebih disukai sebagai indikator makro dalam mencapai tujuan pembangunan. Ketimpangan sering kali disebabkan oleh rencana pembangunan yang lebih menekankan sektor modern, industrialisasi, mekanisasi pertanian (juga dikenal sebagai "revolusi hijau"), dan pembangunan yang bias perkotaan. Sejak saat itu, sebagai produk sampingan dari kemajuan yang dicapai, muncul kembali pembedaan antara kelompok inti dan kelompok pinggiran, komunitas pedesaan dan perkotaan, tradisional dan modern, serta formal dan informal. Perbedaan antara sektor formal dan informal dalam perekonomian Indonesia telah berkembang seiring berjalannya waktu, (dari Agus Joko 2018).
Menurut De Soto (1989) dan Portes dkk. (1989), Edvin Nur menulis dalam jurnal tersebut bahwa sektor informal merupakan entitas ekonomi yang bebas dari pajak pemerintah dan batasan hukum. Definisi ini sejalan dengan resolusi Konferensi Internasional Ahli Statistik Perburuhan (ICLS) ke-17, yang mendefinisikan sektor informal sebagai usaha yang bergerak dalam produksi barang atau jasa dengan tujuan utama menghasilkan pendapatan dan lapangan kerja. Bisnis ini biasanya beroperasi dalam skala besar atau dengan organisasi tingkat rendah. sedikit, dengan sedikit atau tidak ada perbedaan nyata antara modal perusahaan dan tenaga kerja sebagai variabel produksi. Mayoritas pekerja adalah pekerja keluarga atau pekerja sementar,(dalam ILO, 2004)(dari Febrianto 2020).
Terkait dengan jurnal Lena Farida, tidak adanya pengembangan usaha skala kecil di wilayah metropolitan merupakan alasan utama mengapa belum terlihat adanya peningkatan pendapatan di sektor informal. Kurangnya teknologi, keterampilan tenaga kerja yang tidak memadai, keterbatasan ketersediaan bahan baku, pemasaran, dan kemiskinan merupakan beberapa hambatan terhadap pertumbuhan pendapatan. Gagasan tentang "sektor informal" menjelaskan bahwa ciri-cirinya mencakup pola kegiatan yang tidak menentu, kekebalan hukum, persyaratan modal yang murah, kurangnya pelatihan khusus, dan lokasi perusahaan yang permanen.(dari Farida 2011).
Selanjutnya, Trisni Utami menulis dalam jurnal tersebut bahwa masyarakat sektor informal perkotaan merupakan salah satu kelompok marginal dalam masyarakat yang memerlukan pemberdayaan agar lebih mampu melakukan kegiatan ekonomi, meningkatkan taraf hidup dan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan negara.(dalam Makro 2007).
Namun Edvin Nur Febrianto dalam jurnal utama menyatakan ada dua aliran pemikiran mengenai penjelasan hubungan persentase sektor tidak terorganisir dengan pertumbuhan ekonomi. Menurut aliran pertama, biasanya pertumbuhan ekonomi akan berkurang jika terdapat sektor informal yang cukup besar. Di sisi lain, aliran kedua menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang kuat biasanya berkorelasi dengan sektor informal yang cukup besar. Menurut Sarte (2000), ada dua cara yang menghubungkan sebagian besar sektor informal dengan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Pertama, banyaknya peraturan yang membatasi dapat menyebabkan peningkatan sektor tidak resmi dan, pada akhirnya, memperlambat kemajuan ekonomi. Kedua, banyaknya sektor yang tidak terorganisir dapat menurunkan pendapatan pajak bagi pemerintah, yang akan mempersulit pemerintah dalam mendanai infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan Kontribusi. Menurut Loayza (1997), pertumbuhan sektor informal di negara-negara Amerika Latin berpotensi menghambat kemajuan ekonomi karena pemborosan sumber daya publik. Hal ini juga sejalan dengan temuan penelitian Johnson et al. (1997) yang menemukan adanya korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan sektor yang tidak terorganisir.(dalam Ilmiah 2014).
Sementara itu, meski secara teoritis perekonomian informal bukanlah sebuah fenomena baru, namun isu-isu yang dimuat dalam jurnal Ade Parlaungan tampaknya merupakan isu-isu sosial yang lumrah sehingga menimbulkan perputaran yang tidak ada habisnya. Sejak awal sejarah manusia, telah ada sektor informal. Karena industri ini telah ada sejak awal sejarah manusia, manusia telah bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan memulai bisnis sendiri atau bekerja untuk diri mereka sendiri. Meskipun demikian, sektor tidak resmi secara konsisten dicap sebagai "penghambat" kemajuan. Predikat ini secara konsisten menghasilkan isu-isu yang semakin hari semakin mengecil. Oleh karena itu, semakin sulit bagi sektor yang tidak terorganisir untuk mengembangkan bisnisnya,(dari Ade 2019).
Ikhwan Nur Antyanto mengatakan dalam jurnal tersebut bahwa pertumbuhan sektor ketenagakerjaan di Indonesia sangat bergantung pada penciptaan lapangan kerja, mengingat angkatan kerja di negara ini terus bertambah. Meskipun upaya telah dilakukan, namun lapangan kerja yang tercipta belum mencukupi. Keadaan pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan yang rendah serta bekerja pada pekerjaan informal. Dalam hal ini, tenaga kerja di Indonesia sebagian besar diserap oleh sektor informal. Bagi tenaga kerja tambahan di daerah pedesaan, perekonomian informal menawarkan jalan keluar dari kemiskinan dan pengangguran. Di wilayah metropolitan, terdapat keterkaitan yang erat antara sektor informal dan formal. Sektor formal dan informal saling bergantung.
Perkembangan dan modernisasi masyarakat yang mayoritas masih tradisional atau semi tradisional sangat bergantung pada sektor informal. Pekerja dari sektor tradisional terlebih dahulu mencoba bekerja di sektor informal sebelum mencoba bekerja di sektor formal. Mereka beralih ke sektor formal kontemporer setelah memperoleh pengalaman, keterampilan, dan keahlian di sektor yang tidak terorganisir. Selain itu, sektor informal yang padat karya---yang dapat mempekerjakan banyak orang---menjadikan sektor informal penting bagi negara-negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Kedua peran sektor informal di atas sangatlah penting bagi Indonesia. Selain menghadapi kepadatan penduduk, Indonesia juga terus berjuang dengan kondisi masyarakatnya yang masih dibentuk oleh aspek tradisional,(dalam Penelitian 2009).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H