Intelektual Maluku Utara: Banyak yang Pintar, Sedikit yang Berani
Oleh: Fitrah Maulana Guret
Maluku Utara memiliki banyak individu cerdas, baik dari kalangan akademisi, aktivis, maupun profesional di berbagai bidang. Namun, ada satu kenyataan pahit yang sulit disangkal: kecerdasan mereka sering kali tidak diiringi dengan keberanian untuk bersikap. Banyak intelektual yang hanya bersinar di ruang-ruang akademik atau diskusi terbatas, tetapi tidak memiliki dampak nyata dalam perubahan sosial dan pembangunan daerah.
Ketakutan untuk Bersikap: Penyakit Intelektual Maluku Utara
Salah satu persoalan utama yang saya lihat adalah ketakutan untuk menyuarakan kebenaran. Banyak yang sebenarnya memahami persoalan daerah ini---mulai dari tata kelola pemerintahan yang buruk, korupsi yang masih merajalela, hingga kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat---tetapi mereka lebih memilih diam.
Mengapa?
Ada beberapa alasan. Pertama, tekanan dari penguasa yang sering kali membungkam kritik dengan berbagai cara, baik secara halus maupun dengan tindakan langsung. Kedua, banyak intelektual yang lebih memilih jalan aman untuk menjaga kepentingan pribadi mereka, baik itu posisi, relasi, maupun kenyamanan hidup. Ketiga, budaya masyarakat yang sering kali tidak mendukung keberanian intelektual. Alih-alih diapresiasi, mereka yang berani berbicara justru sering dianggap sebagai pembangkang atau pembuat masalah.
Contoh konkret bisa kita lihat dari dunia akademik. Berapa banyak dosen di Maluku Utara yang benar-benar berani mengkritik kebijakan pendidikan daerah? Berapa banyak yang berani menegur pemerintah saat kebijakan pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat? Jawabannya: sangat sedikit.
Lemahnya Gerakan Mahasiswa Maluku Utara
Dulu, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam perjuangan sosial dan politik. Tapi bagaimana dengan mahasiswa Maluku Utara saat ini? Jujur saja, gerakan mahasiswa di daerah ini semakin melemah.