Aku dan Mia ada di meja nomor delapan belas di kafe La Mer a Boire. Seperti biasa aku tak pernah makan berat di kafe ini. Entahlah tak ingin saja. Di mejaku hanya ada strudel apel dan dua potong croissant ditemani cokelat panas bordeaux. Sedangkan Mia sudah menghabiskan Foie Gras. Hati angsa itu ia makan dengan lahapnnya. Setelah aku lihat pada buku menu, hati angsa itu harganya 600 ribu rupiah. Itu pun belum ditambah pajak dan service. Dan sialnya, hari ini aku yang harus bayar semuanya. Memang sudah janjiku.
“Ellen, thanks buat traktirannya ya. Dan selamat, setelah dua tahun jomblo akhirnya punya pacar juga.” Mia meneguk mojitonya. Sedotan tak ia gunakan.
Aku tersenyum malas dan mengangguk, membayangkan hari ini harus keluar uang 600 ribu lebih.
“Tapi kamu belum cerita deh, kok bisa-bisanya dapetin bule Prancis itu? Ganteng lagi.” Sekali lagi ia meneguk minumannya, dan tersedak.
Aku tegakkan badanku hingga punggungku bersentuhan dengan punggung kursi yang tinggi bergaya Chippendale. Persis seperti kursi ratu yang banyak ditemui di film. Kuarahkan mataku mengitari ruangan kafe. Aku tarik nafas dalam-dalam dan kukeluarkan sekaligus. Ah aku selalu suka tempat ini. Dinding dan furniturnya berwarna putih pastel, lembut. Semua kaki-kaki kursi dan mejanya dibuat melengkung menyerupai gaya klasik Eropa. Seluruh meja makannya berbentuk bulat dengan ditopang satu pilar saja. Beberapa chandelier kristal menggantung dan terlihat elegan. Semua furniturnya terbuat dari kayu oak. Sangat Prancis. Di salah satu sudut, terdapat piano lawas cokelat tua merk Chavanne. Serba Prancis.
Bukan hanya interiornya yang aku suka. Lagu-lagu yang diperdengarkan di sini bikin aku betah berlama-lama. Mulanya memang aku tak mengerti soal lagu Perancis tapi setelah bertemu pacarku yang sekarang, aku jadi penggemar berat lagu-lagu negeri mode itu.
“Heh, ayo cerita” Desak Mia
Kulirik gelas mojitonya. Tinggal tersisa potongan daun mint saja. Tiba-tiba 600 ribu menggerayangi pikiranku lagi.
***
Bosan dengan makan siang soto ayam di sebrang kantorku, kuputuskan untuk mencari santapan lain. Aku berjalan menyusuri trotoar sendirian. Kafe itu setiap hari aku lewati, baik ketika menuju kantor juga pulangnya. Namun aku tak pernah mampir ke sana. Menyebutkan nama kafenya saja aku tak bisa, apa lagi menu-menu di dalamnya. Pasti bikin repot. Hari itu aku menghentikan langkahku di depan kafe ala Prancis itu, hanya untuk melihat dan mencoba membaca nama kafenya. La-mer-a-bo-i-re. Tiba-tiba seorang pelayan perempuan membuka pintu dan menyapa.
“Selamat datang di La-mer-a-boa” Ia tersenyum. Lengannya dijulurkan ke bawah, mempersilahkanku masuk. Aku terpaksa masuk. Aku duduk di meja nomor delapan belas.
Pelayan itu lalu memberiku buku menu. Aku buka satu per satu halamannya. Kebanyakan menunya terdiri atas dua kata lebih, tetapi di bagian bawah buku menu ada satu kata yang aku rasa aku akan memilihnya untuk makan siangku. Quiche. Aku tunjuk kata itu dan kuperlihatkan kepada pelayan.
“Yang ini mba”
“Oh, ki-ii-sh. Minumnya?”
Untunglah menu minuman ini selalu ada di kafe mana pun sehingga aku tak perlu repot-repot untuk membuka buku menu lagi.
“Orange juice mba”
Lime belas menit berselang, pesananku datang. Dan instingku tak mengecewakan. Penampilan quiche yang aku pesan merangsang selera makan. Bentuknya seperti pizza, begitu juga isiannya, namun adonannya lebih tebal. Ada custard, keju, potongan tomat, dan seafood. Ah pizza ala Prancis.
Alunan piano nyaring terdengar namun suaranya tetap terasa lembut di telinga. Kukira itu musik yang diperdengarkan dari speaker, tapi setelah kutengok ke sebelah kanan, seorang pria bule sedang duduk di dekat piano cokelat tua dan jari-jarinya dengan perlahan tapi tegas menekan tuts piano. Dari meja nomor delapan belas, aku hanya bisa melihat bagian samping wajahnya. Yang jelas ia mengenakan kacamata. Rambutnya berwarna keemasan. Wajahnya bersih, tak ada jambang. Ia mengenakan celana jeans, dan sepatu kulit warna cokelat, senada dengan warna kaos berkerahnya. Aku terus menatapnya, memerhatikan ekspresi pria itu yang sedang memainkan lagu entah apa. Tiba-tiba ia menoleh dan menangkapku dengan mata birunya. Kini keseluruhan wajahnya terlihat. Aku seketika tertarik padanya. Bukan karena ketampanannya, melainkan kacamatanya. Aku selalu suka pria berkacamata. Dan aku langsung ingat kalau bingkai kacamata yang ia kenakan sama persis dengan kacamata milik penyanyi tahun 50an, Buddy Holly.
Ia tetap menatapku karena aku terus menatapnya. Pria itu lalu berdiri. Ia begitu menjulang. Menghampiriku dan memberiku senyuman.
“Saya baru melihat kamu di sini, kamu baru pertama kali ke sini?” Bahasa Indonesianya tak satupun kata terbata. Hanya saja terkesan kaku ketika ia ucapkan.
“Baru pertama kali” aku mengangguk.
“Saya pemain musik di sini. Semoga kamu suka musik-musik yang saya mainkan”
Aku kembali mengangguk.
“Oh iya, nama saya Gavorche.” Ia mengulangi lagi namanya “ Ga-vor-sh, boleh tau nama kamu?”
“Namaku Ellen”
“Oke Ellen, ngomong-ngomong, saya suka perempuan yang pakai kacamata” Gavorche tersenyum, dan kembali ke pianonya. Sedangkan aku melepas kacamata bingkai biruku, memandangnya beberapa saat dan mengenakannya lagi.
“Terus gimana lagi?” Setelah bertanya, Mia memanggil pelayan dan lagi, memesan makanan. Sial
Setelah pertemuan pertama itu, aku lebih sering makan siang di La Mer A Boire. Aku dan Gavorche pun lebih sering berbincang. Dan selalu hal-hal soal Prancis yang selalu dia obrolkan. Kadang-kadang bosan juga mendengar celotehannya. Jadi suatu hari aku berinisiatif menceritakan soal diriku. Saat itu hari sabtu. Ia bertanya kenapa aku terlihat murung. Dan aku senang ia menyadari hal itu. Aku anggap itu salah satu bentuk perhatiannya. Aku pun tanpa segan memulai ceritanya. Aku katakan kalau beberapa waktu lalu aku melihat pacarku bersama perempuan lain. Setelah aku tanyakan padanya, ia tak mengelak, bahkan membenarkan kalau dirinya jatuh cinta dengan yang lain dan ingin hubungan kita berakhir. Pacarku itu lebih memilih perempuan yang bari dikenalnya seminggu dibanding aku yang sudah berhubungan dengannya dua tahun. Pacarku berselingkuh.
Kulihat raut wajah Gavorche berubah. Ia menunjukkan simpatinya. Ia terus mencoba membuat aku tenang dengan nasihat-nasihatnya. Bahkan tangannya sengaja ditempelkan ke tanganku. Dan aku tak keberatan.
“Tunggu tunggu” Mia menyela. “Siapa yang selingkuh? Si Deri? Bukannya kamu yang mutusin dia ya gara-gara dia telat jemput kamu ke kantor?”
Aku hanya menatap Mia dan mengangkat bahuku.
“Dasar” Mia kelihatan geram dan kemudian memanggil pelayan lagi.
“Jadi kamu tidak dipilih sama pacar kamu itu? Tidak apa-apa. Kadang-kadang orang yang dipilih belum tentu terpilih. Dan orang-orang yang terpinggirkan biasanya justru terpilih. Seperti Jean Valjean dalam Les Miserables. Awalnya dia orang yang tersisihkan tetapi dia justru terpilih jadi orang yang terhormat dan tinggi derajatnya”
Nasihat macam apa itu? Perempuan mana pun aku rasa tak akan tersentuh diberi nasihat kolot begitu. Aku hanya menatap Gavorche dan memasang wajah terharu seolah nasihatnya benar-benar merasuki tubuhku. Dan aku ucapkan terima kasih.
“Kamu pernah baca Les Miserables?” Tanyanya
Aku mengangguk. Lalu menggeleng.
“Ayah saya pecinta Victor Hugo, terutama Les Miserables. Nama saya kan diambil dari salah satu tokohnya. Anak kecil dengan tiada rasa takut. Berjuang bersama pasukan revolusi. Dia juga setia kawan.”
Kucondongkan badanku ke depan untuk memberi kesan kalau aku memperhatikan ucapannya. Padahal aku sama sekali tak mengerti siapa itu Hugo, apa itu Miserables.
“Sudahlah kamu jangan sedih lagi ya” tangannya masih menindih tanganku.
Tiba-tiba musik dari speaker terdengar. Gavorche menggengam tanganku lebih erat. Ia menarikku perlahan dan kini aku dan dia sudah berdiri di tengah ruangan kafe. Mata-mata pengunjung pun mengarah pada kami. Satu tanganku direnggangkan olennya dan diletakkan di bahunya. Sementara itu kedua tangannya sudah ada di pinggangku.
“Aku tak bisa berdansa” bisikku
Ia lalu memintaku untuk meletakkan kedua kakiku di atas kakinya. Ya aku menginjakkan kedua kakiku ke kedua kakinya sehingga aku tak perlu melangkah berdansa mengikuti irama lagu. Hanya Gavorche saja yang bergerak. Setelah aku tanyakan lagu apa, ia memberitahuku kalau itu lagu Carla bruni, L’amour. Dan tubuh kami nyaris bersentuhan. Kami terlalu dekat.
Esok malamnya aku kembali ke La Mer a Boire. Seperti biasa, setelah main piano, Gavorche menghampiriku dan kami berbincang. Setelah peristiwa dansa kemarin, kami jadi semakin dekat dan akrab. Aku bahkan mulai tertarik dengan apa pun yang ia bicarakan soal Prancis, terutama musiknya. Gavorche bercerita kalau ia penggemar berat Ameile, penyanyi Prancis tahun 40an. Lagu kegemarannya Si Tu N’etais Pas La. Ia juga senang memainkan piano I Love Penny Sue dari soundtrack film Midnight In Paris.
Malam itu ia kembali menyadari wajah murungku. Kali ini ia sudah menggenggam tanganku sebelum aku bercerita. Aku katakan kalau mantan pacarku kembali datang dan menginginkan hubungan kami bersatu lagi.
“Menurutmu apa aku harus menerimanya?” tanyaku
“Jangan”
“Kenapa?”
“Ada laki-laki lain yang benar-benar mencintai kamu” Gavorche menggenggam tanganku erat
Mia kembali geram, untungnya ia tak memanggil pelayan.
***
Tak lama setelah semua makanan Mia habis, Gavorche datang. Hari Jumat jam 7 malam memang jadwalnya bermain musik di sini. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Mata birunya mendapatkanku dan menghampiriku. Aku kenalkan pacarku itu pada Mia. Mereka pun berjabat tangan. Gavorche duduk dengan santainya. Sorang pelayan mengantarkan tagihan. Aku suruh tagihannya diserahkan ke Gavorche. Ia menatapku, dan garuk-garuk kepala. Mia terlihat geram lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H