Aku sampai di rumah Roos. Kulihat ia sedang di teras, duduk di kursi jati coklat tua itu sambil membaca buku. Aku tak bergegas menghampirinya, kusembunyikan dulu diriku di balik pohon tanjung yang rimbun di dekat pagar rumah Roos. Pastilah ia tak akan melihatku, dan di sini aku akan terlebih dahulu memandangi kekasihku itu. Roos mengenakan gaun pannier warna biru muda. Dari balik pohon tak berbunga ini aku juga dapat melihat rambutnya yang bergaya gibson menyala keemasan. Kakinya disilangkan, ia nampak sungguh-sungguh membaca buku bersampul warna abu itu. Setelah beberapa saat, ia balik halaman bukunya dengan gerakan yang anggun. Memang cantik kau Roos, dan aku tak kuasa lagi bersembunyi di sini. Ingin segera aku menemuimu.
Telah kulintasi pagar rumah Roos dengan perlahan. Aku berdiri sejarak kira-kira delapan langkah darinya. Aku tetap berdiri sengaja tak memanggilnya menunggu ia menyadari kehadiranku. Sekali lagi ia balik halaman buku itu dengan telunjuknya. Tak lama, ia menengadahkan kepalanya dan matanya berhasil menangkapku. Ia menutup bukunya, meletakannya di meja lalu berdiri dan tersenyum.
“sudah lama kau berdiri di situ Pancar?” Sapanya, bicara Belanda
“Tidak juga, selama kau baca dua halaman buku itu kira-kira” Aku menghampirinya
“Duduklah”
Setelah ia terlebih dahulu duduk, aku pun sedikit membungkuk namun terus menatapnya, dan aku duduk. Kubiarkan punggungku bersandar pada kursi. Kami saling berpandangan, kutatap bola matanya, kuselidik dan terus kutatap, berharap ada aku di bola matanya yang kehijauan itu.
“sudah kau lihat ada kau di bola mataku?”
“ya, aku tampak gagah di sana” Roos hanya tertawa sedikit, sebagaimana adab yang dipunyai perempuan Eropa. Roos lalu mengarahkan pandangannya ke barang bawaanku.
“Apa itu Pancar?”
Di tanganku kupegang ponograph kopor merk columbia. Kuletakan barang kesayanganku itu di pahaku. Kubuka tutup kopornya supaya Roos langsung tahu apa yang aku bawa, lalu kututup lagi.
“Ini satu-satunya yang bisa aku bawa Roos, dan satu-satunya yang ingin aku bawa bersamaku, kemanapun aku pergi”
“Aku tak mengerti”
“Begini Roos..” Aku menunduk sejenak, mengumpulkan nyaliku dulu untuk bicara
“Aku tak bisa lagi tinggal di rumah Roos”
“Tentu bisa, kan itu rumah orangtuamu Pancar, berarti rumahmu juga”
“Kini tidak lagi Roos, bapakku tak ingin lagi aku tinggal di sana”
“sungguh, aku tak mengerti, kau ceritakanlah”
Aku menatapnya. Dan dia kelihatan tak sabar mendengarkan ceritaku. Tapi tak mungkin aku katakan padanya kalau aku diusir bapak gara-gara aku menolak perjodohan yang dikehendakinya. Sore ketika aku pulang dari festival Jaarbeurs, aku bergegas ke rumah. Di sana sudah ada Mir yang sedang menyeka matanya. Kulihat di pipinya ada tetesan air mata. Sementara itu ibunya terus mengusap-usap kepala Mir. Aku tetap mematung menyaksikan bapak, ibu, dan kedua orangtua Mir menusukku dengan tatapan mereka. Bapak lalu mengangguk, mengisyaratkan agar aku duduk.
“Apa benar apa yang diceritakan Miranti?”
“Tak salah bapak” Aku menunduk, tak berani memandang bapak
“kalau begitu jangan lagi kau tinggal di sini”
Ya secepat itulah memang kejadiannya. Aku pun tak banyak bicara lagi. Aku bergerak ke arah ibu, bersujud lalu mencium kakinya dan memohon ampun atas apa yang aku lakukan. Ibu tak bicara, ia hanya mengusapku dan kurasakan air matanya jatuh di kepalaku.
Aku tak mau membuat Roos resah atas apa yang aku alami. Apa jadinya kalau ia tahu aku sudah dijodohkan. Sudah terbayang di kepalaku kalau kekasihku yang lembut itu hatinya akan tercabik bila tahu aku yang dikasihinya sudah disiapkan perempuan lain untuk mendampingiku. Ya, harus aku simpan rapat-rapat ceritaku ini. Kau tenang saja Roos, aku teguhkan hati untuk memilihmu. Lihatlah, aku disini. Meski berat, tapi aku rela diusir bapakku meski akibatnya masa depanku tak tentu arah begini. Semua ini aku lakukan untukmu Roos.
“Tak ada yang perlu diceritakan sayang, kau tenang saja, aku tak apa. Bapakku hanya ingin aku menjadi lelaki yang mandiri. Bukankah semua bapak ingin anak lelakinya menjadi benar-benar jantan? Maka aku tak diperkenankannya lagi tinggal di rumah, barangkali untuk semantara waktu saja meski aku tak tahu hingga kapan. Kau tak perlu cemas Roos”
“Oh Pancarku, jika bapakmu hanya ingin menjadikanmu pria yang mandiri, kiranya tak perlu sampai ia membiarkanmu tak menghuni rumahmu lagi. Lalu kau akan tinggal di mana nanti? Oh Pancarku.” Ia lalu membelai pipiku. Sentuhan tangannya begitu terasa lembut di wajahku. Aku sentuh tangannya, tak kubiarkan ia cepat-cepat melepaskan tangannya dari wajahku. Ah serasa keresahan dan kegelisahanku tersapu oleh belaian lembutnya.
“Kau percaya padaku kan Roos?” Ia mengangguk
Kulihat dari pintu masuk ada ujung sepatu yang menyembul. Kusisihkan lengan Roos dari wajahku dengan perlahan.
“Tuan Veerle” Aku berdiri, sedikit membungkuk, memberi hormat padanya
“Ah Kau Pancar, mengapa tak masuk saja? Sudah lama kau di sini? Kau juga Roos kedatangan tamu begini tak kau beri minum?” Tuan Veerle lalu mengangkat dagunya memberi isyarat pada Roos untuk mengambilkan minuman.
“Baik papa” Roos masuk ke dalam.
“Bagaimana kabarmu, baik?” Belum aku sempat menjawab, ia terus melanjutkan bicaranya lalu duduk dan menarik nafas panjang.
“Tepat waktu rasanya kau datang Pancar, sedang ingin punya teman bicara aku. Kau tak keberatan bukan?”
“Tak ada alasan untukku keberatan Tuan” Tuan Veerle mengangguk girang.
“Baik, soal kota kita yang ingin aku bicarakan, Bandung ini.” Ah pastilah ia akan memulai kuliah panjangnya.
“Kau dengar bukan desas desus soal kota ini? Memang sudah menyebar pada nyaris semua orang. Bahkan tukang ubi yang setiap hari melintasi rumahku pun sudah tahu. Tak terbayang apa jadinya kalau rencana itu jadi terlaksana. Bandung pastilah akan penuh sesak. Gedung-gedung akan berdiri dimana-mana. Aku heran sebenarnya mengapa harus Bandung yang dipilih untuk menggantikan Batavia sebagai ibu kota Hindia. Aku bukannya menentang tapi kulihat Bandung ini sudah menjadi kota yang teramat nyaman untuk didiami masyarakat Eropa. Apa jadinya kalau benar Bandung akan jadi ibu kota? Tentulah orang-orang akan bergerombol datang kemari. Pohon-pohon di utara itu sudah hampir pasti akan ditebangi. Artinya kau sudah tahu bukan? Keteduhan Bandung akan berkurang.” Sambil terus menyimak ceramahnya, aku condongkan badanku supaya terlihat sungguh-sungguh mendengarkan bicaranya kata demi kata.
“kau percaya Bandung akan jadi ibu kota? Ya aku percaya. Setidaknya Gementee Bandung sudah menyiapkan beberapa sarananya. Lihatlah lima tahun lalu sudah dibangun gedung Gouvernements Bedrijven. Aku masih ingat betul, waktu itu aku hadir di acara peletakan batu pertamanya. Ya kau tahu lah sebenarnya tujuan utamanya bukan untuk menyaksikan batu itu diletakan. Dan aku rasa lelaki yang hadir di sana pun sama sepertiku, mereka hanya ingin melihat putri Walikota yang ditugasi bapaknya untuk meletakan batu itu. Ah perempuan itu sungguh cantik, kau pernah melihatnya Pancar? Tahun lalu Gedung GB itu sudah berdiri megah. Tentu saja bergaya Eropa. Namun ada sesuatu yang menarik hatiku. Pada puncak gedungnya terdapat tiang yang menyerupai sate. Entah itu sate atau bukan. Tapi apapun itu, aku rasa oranamen itu bernuansa tradisional. Barangkali, aku tak tahu, Gedung GB itulah gedung pertama di Bandung yang menggabungkan arsitektur Eropa dan Asia. Sungguh indah.”
Roos lalu datang dengan minumannya. Dua gelas teh kini berada di meja.
“Ah teh sudah datang. Silahkan Pancar kau coba tehnya. Aku jamin kau tak akan bilang tak suka. Ini teh terbaik yang ada di Priangan. Aku memesannya langsung dari perkebunan teh Goalpara.”
Astaga, Goalpara. Tiba-tiba pikiranku kacau. Mendengar kata itu kepalaku seakan ditendang-tendang oleh seseorang. Tepatnya oleh Miranti. Miranti yang malang, bagaimana nasibmu jadinya nanti. Sungguh kejamnya aku ini menolak perjodohan kita. Dan karena ulahku, kau akan menjadi gundik administratur. Pastilah menyakitkan tinggal bersama seorang Belanda tanpa ikatan pernikahan. Kau akan menderita Mir. Maafkan aku. Ibu jari dan telunjukku lalu mencapit telinga cangkir itu. Cangkirnya mungil tapi terasa berat sekali kuangkat. Kata Goalpara masih terngiang terus di kepalaku, dan kata Goalpara adalah tempat Mir tinggal. Tempat ia akan digundik. Aku teguk teh itu, rasanya lamban sekali air tehnya melintasi kerongkonganku. Kupaksakan telan tehnya bersama pikiranku soal Mir.
Tuan Veerle, berhenti bicara sejenak, ia menyelipkan canglkong di bibirnya. Ia lalu merogoh-rogoh saku bajunya. Ia menatapku, mengetahui aku tak merokok ia lalu meminta Roos untuk mengambilkannya korek api. Roos yang baru saja duduk, kemudian pergi lagi.
“Tuan bisa melanjutkan ceritanya” Ingin cepat-cepat aku Tuan Veerle melanjutkan lagi ceritanya agar Mir cepat pergi dari kepalaku
“Sampai dimana kita tadi Pancar? Ah iya Gedung GB yang indah itu bukan? Ya Gedung itu konon disiapkan untuk kantor pemerintahan jika pada saatnya Bandung menjadi ibu kota. Sebab itu memang tak ada alasan jika aku tak percaya kalau Bandung akan segera jadi ibu kota. Dan kau mesti tahu, bukan cuma Gouvernements yang sibuk menyiapkan ini itu. Swastapun ikut-ikutan. Bahkan yang satu ini, aku rasa kedengaran konyol juga. Kau tahu NV Olie Fabrikken Insulinde? pabrik minyak di Jalan Bragweg itu? Mereka bangun pabrik tiga tahun lebih dulu dari pembangunan Gedung GB. Ya tahun 1917. Ha ha lihatlah bahkan pergerakan mereka lebih dulu dari Gouvernements. Karena mereka mendengar Bandung akan jadi ibu kota, mereka lalu membuka cabang pabrik mereka di Bandung ini, sementara kantor pusat mereka masih di Surabaya. Dan karena tak lama lagi Bandung akan menjadi ibu kota, aku yakin kantor pusat pabrik mereka akan berpindah kesini.”
Roos lalu datang membawa korek api dan menyalakan cangklong papanya. Ia pun duduk bersama kami
“Obrolan seriuskah papa?” Tuan Veerle lalu mengangguk, aku pun mengangguk mengikuti gayanya dan Roos tersenyum
”Memang Pancar, Bandung kini sedang giat-giatnya membangun.” Tuan Veerle meneruskan lagi ceramah membosankannya. “Gedung-gedung besar kini sudah berdiri di mana-mana. Pemukiman orang Eropa pun makin menjamur. Bukan aku tak setuju soal pembangunan. Tapi rasanya gedung-gedung itu seakan terlalu diprioritaskan. Kau tahu bukan aku suka taman? Memang ingin aku di Bandung ini lebih banyak taman. Hingga saat ini baru ada dua taman. Kau suka pergi ke taman Pancar? Ya aku sangat suka. Moluken Park favoritku. Omong-omong, kau tahu siapa patung yang ada di taman itu?”
Sial, Tuan Veerle bertanya hal yang tak aku tahu, dan kenapa harus di depan Roos. Mau ditaruh dimana mukaku jika aku menjawab tak tahu. Melihat aku tak lekas menjawab, Roos memandangiku, mengangkat dagunya, menagih jawabanku.
“Dari pakaiannya pastilah ia seorang pastor tuan” Kujawab sambil sedikit batuk
“Ha ha semua orang tahu dia pastor Pancar, tapi namanya? Dan siapa dia?”
Dengan terpaksa, aku gelengkan kepalaku “tak tahu tuan” Kulirik Roos, ia mencibirku dengan gerakan bibirnya.
“Tak apa, akan aku ceritakan”
Payah, makin lama saja Tuan Verlee ceramah, dan aku harus terus mendengarkan
“Verbraak Pancar, namanya Henrikus Christianus Verbraak. Aku selalu kagum padanya. Orang seperti inilah yang harus kita contoh Pancar. Ia tak memandang agama dan ras ketika ia bertugas. Peristiwanya memang sudah terjadi jauh dibelakang kita. Saat perang di Aceh dulu, kira-kira setengah abad lalu. Verbraak adalah rohaniawan yang bertugas di sana. Tugasnya adalah memanjatkan doa untuk pasukan Netherland yang tewas. Tapi ternyata kekejaman perang Aceh mengganggu pikirannya terlebih lagi hatinya. Nuraninya tersentuh melihat wanita-wanita Aceh yang gagah perkasa melawan hingga mereka tak takut kehilangan nyawanya. Bayangkan saja, rencong melawan senapan, kau tahu sendiri siapa yang akan menang. Korban-korban banyak berjatuhan. Verbraak pun tergerak tak hanya menolong bala tentara Netherland saja tapi prajurit-prajurit Acehpun ia tolong. Itulah Pancar, mengapa ia kini ada di Moluken Park, Gouvernements menghargai jasa-jasanya dan mengabadikan namanya dengan patung. Bahkan yang ini membuatku terharu, kau tahu pembuatnya siapa? Seorang wanita Belanda. Gerharda Johanna Wilhelmina. Ia rela tak dibayar untuk membuat patung itu karena tersentuh oleh kebaikan sang pastor. Sungguh kisah yang mengharukan Pancar.”
Aku dan Roos terdiam, terkesima oleh cerita Tuan Veerle. Harus aku akui ceritanya yang satu ini menarik perhatianku.
“Ah hampir lupa aku, kau di sini tentu bukan hanya untuk mendengar ceritaku bukan? Hampir-hampir aku tak memberimu kesempatan bicara berdua dengan Roos. Baiklah aku masuk ke dalam dulu.”
Tuan Veerle pun berlalu. Akhirnya terbebas juga aku dari ceramah Tuan Veerle yang menyita waktu ini. Dari dalam kudengar sayup-sayup alunan piano yang menenangkan hatiku. Aku memandang Roos dan kupasang mimik muka heranku.
“Sonata No. 8 In C Minor OP 13” Roos menjawab
“Askenase?” tanyaku
Roos menggelengkan kepalanya “Beethoven sayang”
“Ah tentu Beethoven Roos, aku hanya ingin tahu sampai dimana kau punya pengetahuan musikmu” Roos lalu mencubit pahaku.
“Aku tak tahu papamu bisa main piano”
“kau pikir begitu? Tidak tentu saja, itu dari ponograph sayang”
“ah tentu saja”
Beberapa saat kami terdiam menikmati alunan musik klasik yang dimainkan berulang-ulang. Aku letakan tanganku di tangannya dan ia tak keberatan.
“Kau meremas tanganku Pancar” Ia merengut, dan aku kendorkan genggamanku. Kucondongkan perlahan badanku hingga bibirku nyaris bertemu bibirnya. Jantungku mulai terasa berdebar lebih kencang. Kupejamkan mata, dan bibir kami pun bersentuhan
Hari sudah hampir gelap dan aku pun pergi meninggalkan rumah Roos. Kini kegelisahan bersarang lagi di otakku. Sudah ratusan langkah barangkali sejak aku meninggalkan rumah Roos tapi aku belum tahu akan kemana. Bapak, kau sungguh keterlaluan. Apa memang cinta bisa dipaksakan? Dan kau lebih memilih kehilangan anakmu dibandingkan dengan membatalkan perjodohan. Aku masih terus berjalan dan berjalan. Bulan mulai nampak dan aku masih tak tahu akan bermalam dimana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H