[caption id="attachment_272767" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi gambar: http://www.rgbstock.com/photo/nSt4Xks/Woman"][/caption]
Aku masih ingat semuanya. Orang-orang memanggilku Maria. Indah bukan? Aku bahkan tak mau lagi memakai namaku yang dulu, Marsinah. Pastilah nama itu tak punya arti suatu apapun. Mendengar orang mengucapkan nama itu saja membuat telingaku tak nyaman. Entah siapa yang pertama kali memanggilku Maria. Mungkin anak-anak kampung yang saban sorebermain layangan di lapangan. Sebelum melintasiku, mereka akan meneriaki namaku sambil tertawa-tawa. Entahlah mungkin mereka senang melihatku dan karena hanya mereka yang memanggil namaku serta tertawa padaku maka aku pun bahagia melihat bocah-bocah itu. Anak-anak itu tawanya makin menjadi ketika mereka melihatku ikut tertawa. Mereka menuding-nudingku dengan telunjuknya juga bertepuk tangan sambil terus meneriaku namaku. Hanya seorang yang selalu menarik baju teman-temannya dan meminta mereka bergegas pergi ke lapangan. Ia tak pernah tertawa dihadapanku. Aku tahu namanya Susno. Tentu saja aku tahu, aku kan masih ingat semuanya.
Itu emakku datang. Seperti biasa, ia selalu membawa nasi juga kangkung pada piring seng yang berkarat itu. Emak mengusap kepalaku, ia berdiri mengawasiku hingga aku makan beberapa suap lalupergi lagi. Selalu kuhabiskan makanan yang dibawa emak. Tak pernah aku mengeluh soal lauk yang dihidangkan. Setelah beberapa saat, emak datang lagi, ia mengambil piring seng juga gelas kemudian berlalu.
Bapak yang jarang menemuiku. Heran juga mengapa, padahal setiap pagi dan sore ia selalu memberi makan kambing di kandang sebelah bilikku. Bapak memang melirikku lewat jendela mungil bilikku. Tapi ia tak pernah menghampiriku. Susi Adikku hanya kadang-kadang saja menengokku, biasanya ketika ia pulang sekolah.
Rantai ini begitu kencang mencekik kedua pergelangan kakiku. Mata kakiku bahkan kulitnya sudah mengelupas hingga terkadang mengeluarkan nanah jika aku terlalu banyak bergerak. Tangan kiriku juga bergelang rantai yang dikaitkan ke atap bilik. Untung saja tangan kananku tidak. Bagaimana bisa aku menggaruk kepalakuyang sering gatal jika tangan kananku ikut-ikutan dicapit rantai.
Aku sudah bilang bukan kalau aku ingat semuanya? Yang paling menempel di kepalaku ialah ketika aku berada di negeri Arab. Semuanya baik-baik saja sebelum TuanAbbas menghancurkan segalanya. Sudah aku berusaha sekuat tenaga menyingkirkan tubuhnya. Tapi percuma, badannya terlalu gempal. Bahkan cengkraman tangannya sama kuat dengan rantai yang melilitku ini. Sesak aku ditindih tubuh besar Tuan Abbas. Apa lagi kala itu tenagaku sudah terkuras sebab baru selesai mencuci pakaian. Tak tahu aku berapa lama Tuan Abbas menggencetku waktu itu, tapi yang pasti rasanya seperti tak berakhir. Terlebih lagi malam harinya ketika aku selesai masak, pria berkumis itu masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Esoknya, aku tak lagi diperkenankan keluar rumah lagi, bahkan untuk belanja sekalipun. Sejak saat itu setiap malam ia masuk kamarku atau aku diseretnya ke kamar Tuan Abbas.
Pernah waktu Tuan Abbas pergi bekerja, Tuan Akif datang ke rumah. Meski ia tahu kakaknya itu akan pulang larut malam, tapi Tuan Akif berkeras menunggunya. Ia memintaku menyiapkan makanan. Aku hidangkan mandy lahm. Dagingnya aku beri lebih banyak sesuai dengan permintaannya. Tak lama setelah ia selesai makan, Tuan Akif menyuruhku memijat tubuhunya. Aku menolaknya. Ia lalu menarik lenganku dan membantingku ke lantai, kepalaku mendarat duluan. Hingga saat ini pun bekasnya masih ada. Kepalaku sering terasa gatal dibuatnya. Mungkin karena benturannya terlalu keras, aku tak lagi tahu apa yang terjadi sesudahnya. Begitu terjaga, aku sudah tak berpakaian lagi dan Tuan Abbas sudah berdiri di depanku.
Tak jelas aku apa yang dikatakan Tuan Abbas, tapi dari mimik mukanya juga suaranya yang kencang pastilah ia tengah marah. Dan benar saja memang marah, ia menginjakku, menendang pinggulku, menjambak dan membenturkan kepalaku ke lantai. Tak tahu kenapa ia sampai begitu marahnya padaku. Mungkin sebab ia melihatku tergelatak di lantai tanpa busana. Barangkali juga karena tak ada makanan di meja ketika ia datang. Sungguh aku tak tahu.
Sejak kejadian itu, Tuan Abbas tak pernah lagi datang ke kamarku. Namun setiap kali ia melihatku, tangannya yang besar itu pasti selalu mendarat di pipiku. Pernah suatu malam aku mencoba bercermin dan aku sangat bingung dengan bentuk wajahku. Maka semenjak itu tak pernah aku bercermin lagi. Tuan Akif juga seakan jijk padaku. Ia tak pernah lagi memintaku untuk menyiapkan makanan. Bahkan ia ikut-ikutan menginjak, menampar, memecut, meninju, dan menendangku.
Hingga suatu hari, tak tahu bagaimana, aku sudah berada di luar rumah tuanku itu. Orang-orang Arab kala itu begitu berbeda dengan tuanku. Mereka telaten memberikanku obat dan merawatku. Selang infus selalu terpasang selama aku berbaring di sana. Ah andaikan rantai-rantai ini adalah selang infusan. Setelah itu aku pun tiba di kampung halamanku. Tak perlu aku ceritakan bagaimana rasanya berada di rumah lagi.
Aku ingat semuanya. Bahkan seringkali aku ingat peristiwa yang aku alami di negeri Arab. Dan setiap aku mengingatnya, aku akan berteriak-teriak sekencang-kencangnya. Saking kencangnya, mungkin ada urat di tenggorokanku yang putus, tak tahulah aku. Aku pun kini tak bisa bicara lagi. Suatu kali, aku sedang duduk di teras rumah. Kulihat Susno melintas sendirian membawa layangan. Saat itu aku sedang teringat negeri Arab. Tak tahu kenapa tiba-tiba aku berlari ke arah Susno. Anak itu hanya terpaku, layangannya jatuh dan terinjak olehku. Tubuh kecilnya aku tendang dengan lutuku. Ia tersungkur. Aku tampar ia tepat di mukanya. Dan ketika kakiku aku angkat untuk kemudian menginjak kepalanya, bapak yang entah datang darimana lalu mendorongku. Ibu menggendong Susno dan berlari ke arah jalan besar. kakiku dicengkram bapak, dan aku diseretnya lalu aku dimasukan ke bilikku ini, sebelah kandang kambing.
Belum. Saat itu belum ada rantai. Bahkan aku pernah mampu mendobrak pintu bilik, tentu ketika aku teringat negeri Arab. Aku lalu meghancurkan pagar kayu tetanggaku. Batu-batu besar aku lemparkan ke jendelanya. Entah kenapa aku melakukan itu, tapi saat itu negeri Arab begitu terngiang di kepalaku.
Bapak lalu mendekapku. Ia yang sudah renta kemudian roboh. Tenagaku terlalu kuat untuk melepaskan cengkramannya. Aku berlari tak tahu ke arah mana. Kulihat dari belakang warga kampung mengejarku. Aku berusaha lari sekuat tenaga dan sekencang mungkin. Tapi pria berpeci itu bisa menyusulku. Ia menjegal kakiku dan aku pun tersungkur di tanah. Teriakan orang-orang begitu memekakan telingaku. Aku diikat mereka dan digotong lalu dimasukan lagi ke bilik. Aku lihat dari jendela mungil ini bapakku seperti sedang dimarahi oleh orang-orang itu. Bapak hanya menunduk, ia tak bicara. Bapak lalu datang ke arahku. Ikatan tali tadi ia lepaskan kemudian menggantinya dengan rantai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H