Kini ada nuansa berbeda di ruang tengah rumahku. Sofa panjang valencia aku ganti dengan sofa french country warna cokelat tua. Meski bukan kursi antik tetapi penampilannya cukup klasik. Di sudut dekat lemari pajang, aku letakkan gramophone merk Thorens buatan Swiss tahun 1932. Koleksi piringan hitamku aku susun pada rak yang tingginya nyaris satu meter. Ada juga radio tabung Philips, meski sudah tak berfungsi tetapi tetap terlihat elegan sebagai pajangan. Ada satu yang masih membuatku bingung. Foto yang sudah dibingkai ini tak tahu akan kuletakkan dimana.
“Sejak kapan kamu suka barang rongsok?” Astrid berdiri di ambang pintu. Pandangannya mengarah menjelajah ke barang-barang lawas di ruang tamuku.
“Antik, bukan rongsok”
Ia lalu duduk. Menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. Ia tengok sofa cokelat tua itu beberapa saat, menepuk-nepuk bantalnya dan menganggukan kepalanya.
“Nyaman juga”
“Itu saja? gak ada pelukan kangen?” aku berdiri di depannya. Ia mengerutkan kening. Menggeleng.
“setelah 4 tahun gak ketemu?”
Ia lalu berdiri dengan malas. “oke lah, sin!i”
Kami pun duduk kembali. Bersebelahan.
“Jadi bagaimana kuliahmu di Amerika?” Tanyanya.
***
Kala itu hampir di ujung malam. Aku sendirian berjalan menyusuri Baldwin Ave. Entah mengapa secangkir kopi dan donut ingin sekali aku nikmati malam itu. Tetapi di kanan kiri jalan tak ada coffee shops yang buka. Tepat sebelum persimpangan, kulihat sebuah cafe lampunya masih menyala. Namun beberapa saat kemudian mati. Seorang perempuan lalu keluar dari cafe itu, merogok tas pinggangnya, mengeluarkan kunci. Sebelum ia memasukan kunci itu ke lubang pintu, aku sudah berada di hadapannya.
“Baru jam dua malam, sudah tutup lagi?” Ia tampak terkejut menyadari kehadiranku namun tetap tenang menghadapiku.
“Baru katamu? Sudah jam dua malam tepatnya” Ia mengunci pintu cafenya dan memasukan kunci itu ke tasnya.
“Kau pasti punya secangkir kopi dan donut yang tersisa”
“Banyak, tapi kami sudah tutup”
“Malam ini aku ingin sekali kopimu, aku dengar di sini enak”
“Datang saja besok pagi”
Baru beberapa langkah aku meninggalkan cafe itu, ia lalu memanggilku. Dengan tergesa-gesa, ia raih kunci itu lagi dan membukakan pintu untukku. Ia melangkah cepat, menyalakan lampu, tapi tak semuanya. Perempuan berambut ikal hitam itu lalu bergerak ke balik meja bar, menghidupkan mesin espresso.
“Aku tak akan memberikanmu buku menu, aku tak akan menanyakanmu donut apa yang kau mau. Kau duduk saja di situ. Habiskan kopimu dengan cepat, dan segera pergi dari sini. Sial, bahkan aku tak tahu mengapa harus membukakan pintu untukmu.”
Tak lebih dari lima menit, secangkir kopi dan donut sudah ada di mejaku.
“Thanks, akan kubayar dua kali lipat untuk ini semua”
“Tak perlu. Cepat habiskan kopimu saja dan pergi segera.”
Meski ia terus menatapku, anehnya aku tak merasa terintimidasi. Bahkan kopi tengah malam itu aku amat nikmati tegukan demi tegukannya. Lima belas menit sudah aku berada di sana. Donutnya sudah tak tersisa sedangkan kopi hitam itu masih ada setengah gelas.
“Kopi robusta ini, aku suka. Enak”
“Kami hanya memakai kopi arabika di sini”
“Oh Arabika dari Amerika, sempurna”
“Italy, kami pakai kopi Illy dari Italy, bukan Amerika” Ia menarik nafasnya, menatapku, memasang wajah kesalnya.
“Dan kenapa tengah malam begini kau masih berkeliaran? Kau orang Asia bukan? Dari Filipina?
Aku menggeleng
“Ah kenapa aku harus ambil pusing”
Ia berjalan ke arahku, mengambil kopiku dan menyuruhku pergi. Dari luar, kulihat ia membalikkan papan tanda open dengan closed.
Esok malamnya aku datang lagi ke Doodle Doo. Kali ini lebih awal, jam 1 malam. Seperti malam-malam sebelumnya, Baldwin Ave sudah sepi. Cuma Cafe Doodle Doo saja yang lampunya masih menyala. Makin dekat aku berjalan ke arah cafe itu, makin jelas suara musik terdengar. Entah itu musik jenis apa tapi aku bisa pastikan kalau itu lagu lama.
“Secangkir kopi arabika Illy aku rasa belum terlambat untuk malam ini”
Perempuan itu melipat kedua lengannya di dada. “Belum terlambat, asal kau bayar dulu kopi malam kemarin”
Aku berikan 5 dollar untuknya.
“Dua kali lipat. Kau lupa?” Ia menggerakkan jari-jarinya. Meminta lima dollar lagi, dan aku beri.
“Musik apa ini?
“Jazz, keterlaluan kalau kau tak tahu”
“Aku tahu, tapi siapa?”
“Ella Fitzgerald”
“Judulnya?”
“Do I Love You?” Kami pun terdiam beberapa saat hingga lagunya habis.
“Kau suka?” tanyanya
“Selera musikmu aneh, entahlah”
“Terserah apa katamu. Tapi aku dibesarkan dengan lagu-lagu Ella. Nenekku penggemar beratnya. Ella lahir di wilayah ini, Hampton Roads. Di sini juga aku dilahirkan. Kau tahu yang aku suka dari dia? Tak ada hubungannya dengan musik sama sekali, tapi aku suka senyumnya. Seperti Louis Armstrong yang ketika senyum giginya hampir kelihatan semua, begitu juga Ella. Melihat senyum mereka saja sudah membuatku bahagia. Dan ketika kau lihat senyum iitu, kau tahu kalau itu berasal dari hati. Paling dalam.”
“Senyum? Sesederhana itu kah? Aneh, mengapa bukan musiknya?”
“Ya sesederhana itu. Kau pikir apa yang membuat The Beatles begitu digilai wanita? Musiknya? Omong kosong. Tahun 1965 mereka konser di Shea Stadium. Lebih dari separuh penontonnya adalah perempuan. Daripada diam dan menikmati musiknya, para wanita gila itu malah berteriak tak karuan memanggil nama John, paul, George, dan Ringo. Kau lihat, mereka sama sekali tak menikmati musiknya. Musik yang keluar dari amplifier Vox seadanya itu suaranya kalah kencang dengan teriakan 70 ribu penonton. Personil The Beatles bahkan tak bisa mendengar musik mereka sendiri. Mereka bukan penggila musik Beatles tetapi pencinta karakter personilnya yang lucu, tampan, dan menggemaskan. Kau tahu The Beatles bukan?”
Aku menggeleng.
“Baik, bagaimana dengan Elvis? Namanya pasti sudah sampai ke negaramu kan? Kurasa Indonesia bukan Hutan Belantara. Ya Elvis Presley, Orang-orang sama sekali tak menikmati musiknya. Yang ditunggu-tunggu hanya gerakan pinggulnya. Sekali hentak, wanitapun berteriak. Ah kau sama sekali tak menanggapiku. Apa kau tahu sedikit saja soal musik?”
“Sejujurnya tidak.” Kuteguk lagi kopiku. “Tapi aku ingin tahu soal musik”
“Musik apa?”
“Musiknya Ella”
“Jazz?”
“Ya itu lah”
“Kau sungguh ingin tahu?”
“Ya, tentu saja”
“Baik ikut aku”
Si rambut ikal itu lalu mematikan musiknya. Ia berjalan ke arah belakang cafe, dan aku masih tak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia menengok ke arahku, mengerutkan keningnya. Aku pun bangkit dari kursi mengikuti dari belakang. Sampailah kami di ujung ruangan setelah melewati lorong selebar selangkah kaki orang dewasa. Di sana hanya ada satu pintu warna biru. Si rambut ikal menggenggam gagang pintunya. Lalu mengangguk padaku. Perlahan ia mendorong pintu itu hingga setengah terbuka.
“Cepat masuk” Ia lalu menutup pintunya.
“Tempat apa ini?”
“Kau lihat wanita yang sedang menyanyi itu?”
“Yang di panggung itu? Rasanya aku pernah mellihatnya. Tunggu. Foto perempuan itu ada di dinding cafemu bukan? Ella Fitzgerald? Tempat apa ini? Bukankah dia sudah mati? Dan kini kita melihatnya menyanyi. Dan orang-orang di sini, siapa mereka? Pakaian mereka seperti busana tahun 20an. Apa apaan ini?”
Besoknya, dan setiap hari aku datang lagi ke Doodle Doo dan Si rambut ikal selalu mengajakku lagi ke pintu warna biru. Aku mulai terbiasa dengan apa yang aku saksikan. Penyanyi dan musisi jazz lawas yang sudah tiada hadir di hadapanku. Mereka memainkan musiknya sementara Si rambut ikal memberikan kulaih jazz untukku.
“Ini aneh, dari mana kau bisa mendapatkan pintu warna biru itu? Dan kenapa musisi yang sudah mati bisa hidup lagi?”
“Sudahlah, tak usah kau pikirkan”
“Ini seperti film Midnight In Paris”
“Kau suka film itu? Lihat pria tua berkacamata yang sedang memainkan terompetnya. Kau tahu itu siapa? Ya. Woody Allen, sutradara Film Midnight In Paris.”
“Lagu apa yang sedang ia mainkan?”
“Si tu vois ma mere”
Tiba-tiba Ella naik ke atas panggung. Berjabat tangan dengan Woody dan memeluknya. Ia lalu mempersilahkan Woody turun panggung. Seorang pianis kulit hitam kemudian mulai menekan tuts pianonya. Ella mengambil microphone. Lagu Do I Love you pun menggema di ruangan itu. Dan entah bagaimana, aku dan si rambut ikal sudah berada di jembatan tua, berdansa diiringi lagu itu
***
Setahun lebih aku dan Si rambut ikal selalu pergi ke pintu warna biru hingga akhirnya studiku berakhir dan Amerika harus kutinggalkan. Selama setahun lebih itu pula aku selalu berdansa dengannya diiringi lagu Do I Love You. Selalu di jembatan tua, yang aku tak tahu namanya. Semua pengalamanku itu aku ceritakan pada Astrid. Ia hanya mendengarkan, tak bertanya juga menyanggah. Astrid lalu berdiri dari sofa dan memakai jaketnya.
“Kamu aneh, lebiih baik aku pulang saja”
Kugantungkan foto Si rambut ikal di dekat gramophone. Tiba-tiba lagu Do I Love You terdengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H