Mohon tunggu...
Fitrah Nuraidillah Nst
Fitrah Nuraidillah Nst Mohon Tunggu... Guru -

anggota FLP Sumut, bergerak di teater Cah Gubuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

cerpen Kamar 031

12 Oktober 2011   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:02 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamar 031 (*)

“Stop, pak, stop!”

Angkutan umum yang membawaku pun berhenti di depan gedung berwarna putih. Uppps, bukan gedung putih tempat Presiden Barack Obama menjalani aktivitasnya, walaupun unsur warnanya yang sama seperti istana yang berdiri di Washington DC tersebut.

Aku memburu langkahku menuju sebuah tempat dimana aku dan temanku berjanji untuk bertemu. Aku terlambat lima belas menit dari waktu yang telah dijanjikan. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia hal ini sudah menjadi tradisi yang sulit dikuliti. Jam kolor sudah menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Oi, betapa.

Langkah-langkah kaki terdengar beradu pada lantai putih di sepanjang koridor, melantunkan nada-nada yang kacau. Aku menatap sekelilingku sambil membaca papan yang terpampang disetiap pintu, berharap menemukan ruangan yang kucari. Sesekali tercium aroma obat, bau khas gedung putih ini. Beberapa pasang mata menatap diriku yang berjalan dengan penuh kebingungan. Namun tak ada satu pun yang berbicara, aku pun enggan bertanya. Biarlah, malu bertanya, bisa jalan-jalan. Hari gini sudah tidak jamannya lagi sesat di jalan.

Terlihat beberapa kali orang berlalu lalang, beberapa orang berseragam putih membawa brankar, terbaring seorang lelaki muda bersimbah darah. Aku sedikit ngeri melihat kaki kirinya remuk. Dunia ini masih terlalu baru bagiku, aku masih merasa takut dan ngeri melihat semua peristiwa di dunia yang aku geluti,padahal aku telah menjalani pilihanku selama tiga tahun. Ntah mengapa aku masih sulit untuk menghilangkan perasaan itu, hampir menjadi sebuah phobia. Dan berada di tempat ini menjadi salah satu alasanku untuk menempa diriku beradaptasi dengan duniaku.

Brakk!!

Aku menabrak sesuatu.

“Maaf bu, maaf”

“Kalau jalan hati-hati, jangan cuma celingak-celinguk nggak jelas!”

Wanita berseragam putih itu pun berlalu sambil mendorong wanita paruh baya yang duduk di kursi roda. Aku sempat melihat senyuman wanita paruh baya itu, aku pun membalas senyumannya.

Aku bangkit bergegas mencari ruangan yang akan kutuju, kali ini aku melangkah perlahan sambil membaca setiap papan yang terpampang di setiap pintu,

THT, Dentist, Spesialis Mata, Spesialis Anak,” dan aku pun tidak menemukan apa yang kucari.

Tiba-tiba terdengar suara memanggilku, aku pun menoleh. Seorang wanita muda berjalan kearah ku.

“Ya ampun, analis muda kita, dipanggil kok malah jalan terus, bermasalah pada THT ya bu, ruangannya tuh disitu,” ia menunjuk sebuah ruangan disisi kiriku. Mataku tertuju pada tulisan yang terpampang di papan ‘Spesialis Penyakit Dalam (Intermist)’.

“Ya Tuhan, sepertinya bukan hanya telingaku saja yang bermasalah, mungkin aku harus segera periksa ke spesialis mata, huff.”

Aku dan wanita itu pun memasuki ruangan Intermist dr. Ivan, Sp.P.D., Ph.D. aku mengenal wanita muda itu di kampus tempatku menuntut ilmu. Dia seorang kakak stambuk yang cukup banyak membantuku, hingga saat ini dia masih mengulurkan tangannya untukku. Dia menawarkanku untuk membantunya, tentu saja aku tidak menolaknya, hitung-hitung aku dapat belajar darinya.

***

Hmm, dr.Ivan cukup baik dan ramah, dia merasa senang aku dapat bekerja sama dengannya, karena akhir-akhir ini dia membutuhkan seorang analis lagi untuk membantunya, dia berharap aku dan temanku dapat bekerja sama dengan baik.

Tiba-tiba pintudiketuk, seorang wanita masuk setelah menerima kode izin dari dr.Ivan.

“Permisi dok, ada seorang pasien di ruang Unit Gawat Darurat”.

“Baik, saya akan segera kesana”.

Percakapan yang begitu singkat, tanpa basa-basi lelaki bertubuh tegap itu bergegas pergi. Aku dan temanku mengikutinya.

Tampak beberapa orang menemui seseorang yang terbaring diatas brankar. Akumencoba melihat lebih dekat. Kutatap wajah lelaki tua yang terbaring tak berdaya itu. Sorot matanya tidak lagimemancarkan cahaya kehidupan. Oh, ya Tuhan apa yang aku pikirkan, keluarganya sangat berusaha menyelamatkan hidup orang yang mereka cintai. Aku bukan Tuhan, bagaimana mungkin aku dapat menggariskan takdir kehidupan seseorang. Mungkin aku hanya seorang analis yang tidak dapat langsungmenolongnya dengan tanganku sendiri, tetapi hasil kerjaku sangat membantu penyembuhannya.

“Cepat!Maaf ya buk, pak, harap tunggu sebentar!

Suara dr.Ivan membuyarkan lamunanku. Pasien itu pun dibawa masuk. Aku menatap mereka, sepertinya mereka keluarga besar dan terlihat mewah dari penampilannya. Seorang anak laki-laki menarik perhatianku, ditengah kesedihn, dia hanya berdiri terdiam menatap pintu ruang UGD.

“Ayo masuk!”

Temanku mengajakku memasuki ruang UGD. Di ruangan itu seluruh petugas kesehatan berusaha keras menolong lelaki tua itu. Sang kekek pun akhirnya melewati masa kritisnya. Aku dan temanku mengambil sempel darah untuk di analisis. Sementara urine belum didapatkan karena kondisi kekek yang belum memungkinkan.

***

Sudah tiga hari berkecimpang didunia ini,mengambil sampel dari pasien untuk dianalisis penyakit apa yang diderita. Berbagai macam persoalan. Hanya saja, untuk urusan leleki tua ini, cukup menyulitkankami. Keluarganya sangat berharap sang kakek dapat disembuhkan. Bahkan mereka menjanjikan hadiah yang besar. Aku sedikit bingun, memangnya untuk urusan nyawa dapat dilakukan tawar-menawar. Hari ini dr. Ivan menuggu kami diruangannya, ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

“Kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi dok.”

“Iya, kondisinya sudah sangat kritis, kesempatan untuk sembuh sangat jauh dari harapan, tetapi kita tidak boleh mengecewakan keluarganya. Untuk menutupi semua ini, kalian harus tunjukkan kinerja kalian. Ambil saja sampel untuk dianalisis sesering mungkin, dibantu oleh suster Enny. Tentu dengan demikian keluarganya berpikir kalau kita masih berusaha keras menyembuhkannya.”

Ya Tuhan, apakah itu benar? Menutupi semua ini? Bukankah itu berarti menutupii ketidakmampuan diri agar harga diri tetap terjaga? Ini bukan aku, bukan.

Aku dan temanku pun mengambil sampel urin dan darah si kakek, ini sudah yang keempat kalinya. Hasilnya tetap sama, penyakit komplikasi beberapa organ dalam yang dideritanya sungguh tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Mengapa harus ditutupi? Lagipula sudah sepantasnya si kakek meninggal dunia, cepat atau lambat dia pasti meninggal. Oh, ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Lagi-lagi aku sok menjadi Tuhan. Ini bukan aku.

“Sudah tidak memungkinkan dok, atau kita harus melakukan alternatif lain? Saya sudah punya inisiatif untuk melakukannya dok. Lagipula hal sseperti itu sudah menjadi rahasia umum. Kita akan melakukan dan menutupinya sebaik mungkin.”

“Baiklah, lakukan alternatif lain”

Sungguh tanpa basa-basi. Apa yang harus dilakukan? Apa yang harus ditutupi? Aku semakin bingung dengan kondisi ini. Temanku menarik tanganku menuju ruanran dimana kakaek sekarat itu dirawat.

Ya Tuhan, benarkah ini, dia menyuruhku melakukan sesuatu yang belum pernah aku lakukan. Katanya, sudah menjadi rahasia umum, alternatif lain yang dilakukan jika kondisi pasien sudah tidak memungkinkan. Rahasia umum? Ternyata dunia yang kupilih begitu kotor. Mengapa harus aku yang melakukannya? Terbiasa? Nanti lama-lama aku juga akan terbiasa? Apa ini sebuah kebiasaan?

“Ayo, cepat lakukan!”

“Apa?”

Aku pun mencabut selang oksigen di hidung lelaki tak berdaya itu, memasangnya lagi, mencabutnya lagi. Kulihat dadanya turun naik, nafasnya tersengal-sengal, aku memasangnya kembali. Ntahlah. Apa yang telah aku lakukan. Rahasia umum? Kebiasaan? Ada sesuatu yang tertahan didadaku. Temanku mengajakku meninggalkan ruangan. Sesaat kubalikkan badan kulihat seorang anak lelaki berdiri terpaku didepan pintu toilet di ruangan itu menatapku, bocah yang sama. Ya Tuhan, ternyata benar-benar sudah menjadi rahasia umum. Aku tersentak ketika temanku menarik tanganku paksa. Bocah itutersenyum menatapku. Aneh.

***

Beberapa saat kemudian terdengar suara tangis yang menggemuruh. Suara itu dari ruangan 031, ruangan terakhir yang kukunjungi. Mungkin si kakek telah pergi, pikirku. Dengan tanpa rasa berdosa, aku, temanku, dan dr. Ivan serta suster Enny memasuki ruangan. Terasa olehku butiran bening dipipi. Ntah tangisan apa. Aku memeluk salah seorang cucu perempuannya. air mataku terus mengalir, tdengan tanpa rasa berdosa aku menenangkan mereka. Air mata apa ini? Sekali lagi, aku telah mencoba menjadi Tuhan, menggariskan takdir kematian seseorang. Aku bukanlah aku. Mengapa begini? Dunia yang kupilih menyeretku kedalam jurang kemunafikan. Aku menyeka air mataku sambil kutatap bocah lelaki yang selalu terpaku itu, menatapku dengan tajam. Ntah tatapan apa, aku tidak dapat memaknainya. Senyumannya, senyumannya sarat makna yang ambigu. Ntahlah. (Fitrah Nuraidillah Nst, anggota FLP Sumut, bergiat di teater Cah Gubuk).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun