Jika dipikir secara tersirat, saham yang bagus pasti dimiliki oleh perusahaan yang bagus. Mengingat perusahaan yang bagus banyak diartikan sebagai perusahaan yang memiliki tata kelola perusahaan yang baik, manajemen yang bermutu, keuangan yang sehat, dan menghasilkan produk yang berkualitas sehingga membuat investor memiliki kepercayaan penuh pada perusahaan tersebut untuk menanamkan modalnya. Hal ini juga dibuktikan dalam penelitian dari Shefrin dan Statman(1995) dimana ada keterhubungan yang kuat antara perusahaan yang bagus memiliki saham yang bagus pula. Hal tersebut dikarenakan kualitas dari manajemen yang berkomitmen tinggi untuk membawa perusahaannya pada tingkat keemasannya.
Namun, secara behavioral finance, pemikiran ini adalah pemikiran yang keliru(Ackert&Deaves, 2010). Fama dan French(1992) memisahkan teori pada dua konteks yang berbeda sesuai dengan hasil empiris yang ditemukan yaitu valuasi rasional dan overreaction. Dalam valuasi rasional, perusahaan yang bagus(diukur dalam ukuran perusahaan yang besar dan nilai book-to-market yang kecil) memang memiliki prospek ekonomi yang bagus.
Sehingga akan berpengaruh pada pengembalian sahamnya(indicator saham bagus). Namun, dalam pandangan overreaction, mungkin saja investor yang terlalu optimis pada suatu saham akan membuatnya terus meningkat, begitu juga sebaliknya. Optimisme dan pesimisme inilah yang membuat saham tidak bagus terkadang undervalued dan saham bagus menjadi overvalued. Sehingga bagus atau tidak bagusnya suatu saham harus dilihat terpisah dari perusahaannya yang berarti saham tersebut harus dilihat pula dari murah atau mahalnya harga saham tersebut di pasar secara valuasi(Frensidy, 2007). Bernstein(2001) juga mengatakan, “Don’t search for good companies, search for good stocks”.
Pada paragraph sebelumnya dijelaskan bahwa perusahaan yang bagus didukung oleh fundamental yang bagus pula sehingga secara valuasi saham tersebut layak dibeli. Namun, perilaku dari para investor seperti overreaction dan undereaction-lah yang membuat saham-saham tersebut menjadi tidak baik. Sejalan dengan argument tersebut, pada tulisan ini saya akan menilai suatu perusahaan yang good tetapi memiliki saham yang kurang bagus.
Pemilihan perusahaan dilakukan pada perusahaan yang masuk kedalam indeks LQ45. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bernstein(2001) dimana pemisahan perusahaan good company didasarkan pada rank di S&P. Ranking perusahaan dimulai dari A+ untuk perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar hingga D untuk perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar yang kecil. Sehingga penulis memutuskan untuk memiliki satu perusahaan yang masuk kedalam LQ45 sebagai penentuan perusahaan yang memiliki predikat good company. Setelah itu, penulis memilih dari 45 perusahaan tersebut yang memiliki performa saham yang outperform dan tidak sesuai dengan fundamental dari perusahaan tersebut. Misalnya saja suatu perusahaan secara fundamental baik, namun harga sahamnya tidak mengikuti kondisi fundamentalnya. Untuk perusahaan ini penulis mengasumsikannya sebagai perusahaan yang Good Company namun Bad Stock.
Setelah melakukan beberapa komparasi perusahaan di LQ45 yang memiliki kinerja saham yang tidak sesuai dengan fundamental, penulis memilih PT Wijaya Karya(WIKA) sebagai sampel dari makalah ini. Awal tahun 2016, WIKA mencatatkan kenaikan harga saham hingga 24%, namun sejak September hingga Desember 2016 ini harganya merosot 23%. Hal ini tidak sesuai dengan fundamental WIKA yang sedang baik. Laba bersih WIKA Semester I tahun 2016 meningkat 27,14% atau Rp 41,78 per saham akibat dari peningkatan Pendapatan Pokok Perusahaan. Penurunan ini diakibatkan oleh aksi jual besar-besaran yang dilakukan investor asing pasca sentiment right issue yang akan dilakukan WIKA.
Analisis Makro Ekonomi
Menjadi satu-satunya negara dari Asia yang masuk kedalam negara G20, kini Indonesia berhasil mencetak prestasi baru. Rasio CAGR Indonesia 5 tahun terakhir mencapai 5,1%, terbesar kedua setelah Thailand. Selain itu, Indonesia juga menjadi negara dengan pencapaian Tax Amensty tertinggi didunia, dimana total uang tebusan mencapai 0,65% dari PDB. Berbeda dengan kebijakan Tax Amnesty di negara-negara lain seperti Italia yang hanya 0,2% hingga Spanyol 0,12% dari PDB. Struktur kepemerintahan yang kuat di Era pemerintahan Jokowi ini membuat para investor asing percaya untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dana asing di pasar saham pada tahun ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan pada bulan Agustus menjadi bursa saham dengan penguatan tertinggi di dunia. Performa positif IHSG ini pula turut mengerek nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia ke level tertingginya sepanjang masa sebesar Rp 5.838,51 triliun. Sehingga walau dana asing sempat berbondong-bondong keluar akibat Trump Effect, secara tahunan dana investor asing di pasar saham masih tercatat beli bersih Rp 16,5 triliun.
Analisis Industri