Mohon tunggu...
Fitka Sari
Fitka Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Perangkai Kata

Marriage isn't even on my list!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertanda Cinta Telah Mati

9 Februari 2023   09:59 Diperbarui: 9 Februari 2023   10:05 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, aku bertanya-tanya, adakah tanda saat aku berhenti mencintai seseorang. Dari belasan pacarku yang jadi mantan keparat itu, tak kutemukan jawaban. aku hanya bosan setelah sekian waktu menjalin hubungan. namun aku memendamnya sampai mereka memutuskan hubungan.

Kini denganmu, aku menemukan tandanya. Awalnya, aku menyukai tawamu yang renyah. Tawa yang mengundang orang untuk menoleh padamu, sekadar memastikan kamu waras atau gila. 

"Bisa enggak kalau tawamu agak ditahan, nggak terbahak-bahak gitu. Biar mereka yang sedang sedih nggak terluka dengernya."

Tapi dia hanya merespon dengan tawa. Tawa yang keras, yang tegas, yang membuat mereka yang sedang menangis sedih menyumpahinya karena dunia dikira terlalu berpihak padanya.

Keluarganya nyaris berantakan. Istrinya selingkuh, tepatnya. Dia telah bosan menangis di pingggir laut sepulang kerja.  Dia juga telah bosan membuang air matanya di pinggir sungai, dengan berpura-pura memancing. Jadi, saat ketemu orang, dia akan meledakkan tawa. Agar semua orang mengira dia bahagia.

Dan kini,  dia mengatakan meyukaiku. Mungkin dia menyukai kebersamaan saat kami sama-sama menunggu tenggelamnya senja. Pantai selalu penuh dengan orang-orang yang menghadapi masalah hidup. Cinta, pertemanan, hutang, politik, tapi kami yang sudah berkepala empat, masih juga menghadapi masalah cinta, macam anak SMA. 

Lalu aku memuja suara tawamu. aku ingin selalu mendengarnya sejak bangun tidur dan saat berbaring kembali di ranjang. Suara tawa yang selalu terdengar dari ujung telepon,  di malam hari. sambil mendengarkan curhatmu lewat telepon, tentang istrimu yang memaksamu menceraikannya. istrimu yang tak peduli anak-anakmu butuh kasih sayang. Sedu sedanmu di sela curhat,  lalu tertawa. Saat itu tawamu sangat merdu. 

Namun pagi itu, aku merasa suara tawamu di telpon begitu bising, dan memekakkan telinga.

Sejak aku terganggu dengan suara tawamu, saat itu aku tahu, api cintaku padamu sudah padam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun