Dalam definisi Nijkamp, dkk dalam Chaffers (2010), Smart City didefinisikan sebagai kota yang mampu menggunakan SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern (Information and Communication Technology) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat.
Sejak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Kantor Staf Kepresidenan menggagas "Gerakan Menuju 100 Smart City ", istilah smart city menjadi demikian populer. Virusnya kian mewabah tak hanya ke kota-kota besar namun juga ke pelosok kabupaten/kota.
Pemilihan kosakata smart city atau kota pintar berhasil memunculkan kesan baru di benak khalayak khususnya para pengambil kebijakan untuk sesegera mungkin mendeklarasikan daerahnya sebagai smart city. Mungkin ada ketakutan terselubung, kalau keduluan daerah-daerah lain bisa-bisa kotanya dianggap kota yang kurang smart, gengsi donk.
Lalu anggaran promosi smart city pun digelontorkan hingga masyarakat aware bahwa kotanya telah beranjak menjadi kota yang pintar. Pada akhirnya kebanyakan dari kota-kota itu memang berhasil membuat citra yang smart untuk kampanye smart city mereka. Namun patut disayangkan image sebagai kota pintar yang telah secara cerdas dikampanyekan itu rupanya hanya sebatas kulit luarnya saja.
Image atau citra yang tertangkap oleh masyarakat tentang smart city baru sebatas pemahaman tentang kota yang penuh kecanggihan teknologi. Mereka berangggapan kota pintar itu adalah kota dengan teknologi canggih dimana di sudut-sudut kotanya banyak CCTV-nya. Semua serba mobile dan terintegrasi dengan aplikasi.
Wajar, sebab pembentukan citra atau image pada dasarnya adalah upaya mengkomunikasikan pesan kepada khalayak sasaran dengan pemilihan penonjolan terhadap aspek tertentu.
Jadi, bila ingin mencitrakan sebuah kota yang smart, maka fakta-fakta yang berbau kecanggihan teknologi yang lebih dulu dimunculkan, sedangkan faktor kelemahan dan kekurangannya ditampilkan belakangan, atau bahkan jika perlu tak seluruhnya dikomunikasikan kepada publik. Penonjolan aspek yang dipilih itu kemudian membuat seluruh kota  tampil seolah lebih smart daripada aslinya.
Dalam sebuah pengalaman study banding ke sebuah kabupaten yang dekat dengan ibukota negara, kami disuguhi penjelasan tentang berbagai teknologi dan aplikasi penampung aspirasi warga. Teknologinya memang keren, tapi apakah dengan aplikasi yang mumpuni, lantas semua keluhan dan laporan warga bisa tertangani dengan profesional ?
Dalam prakteknya, ketika teknologi hadir di depan mata, justru SDM-nya masih bertahan dengan penyakit ego sectoral. Teknologi yang terintegrasi tak diimbangi dengan komunikasi internal yang terintegrasi. Hingga aduan warga sekedar di-ping-pong dari satu instansi ke instansi yang lain.
Ego sectoral adalah momok bagi penerapan smart city yang terintegrasi. Jika ingin smart city betul-betul terwujud, maka komunikasi internal antar instansi atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mustinya lebih dulu dibenahi.
Sayangnya selama ini, humas-humas pemerintah masih banyak yang terjebak pada aktifitas promosi dan pencitraan eksternal, sedangkan komunikasi internal jarang tergarap. Padahal mempromosikan program-program pemerintah tak ubahnya mempromosikan sebuah brand atau merek. Humas membawa brand promise (janji sebuah merek).