Dalam hitungan hari, masyarakat Indonesia akan memasuki tahun politik. Dua hajatan demokrasi yang diprediksi bakal menyedot perhatian penduduk negeri ini adalah Pilkada Serentak 27 Juni 2018 dan Pemilu 17 April 2019.
Pilkada Serentak akan diikuti kontestan dari 17 provinsi, 39 kota, 115 kabupaten, sementara Pemilu 2019 akan memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Berbicara tentang profesionalisme media, isu yang nyaris tak pernah absen didengung-dengukan oleh insan pers adalah tentang profesionalisme awak media dalam menjalankan perannya sebagai fourth estate dalam mengawal proses demokratisasi.
Dalam hal ini pers harus diarahkan untuk memaksimalkan posisinya sebagai penyeimbang tiga kutub kekuatan lainnya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketika pers harus memberikan keberpihakan, pemihakan itu harus ditujukan bagi kepentingan publik. Inilah idealisme pers yang merupakan fungsi hakiki yang melekat padanya.
Meski bangkitnya industri pers telah memberi kontribusi dan warna baru dalam tradisi bermedia dan kehidupan demokrasi namun lanskap kehidupan bermedia masih menunjukkan persoalan. Netralitas pers dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya, atau eksistensinya yang lebih mengutamakan fungsi ekonomi daripada aspek informatif-edukatif bagi publik daerah adalah dua isu utama yang mengemuka, bahkan berpotensi mereduksi peran pers.
Pers nasional dan daerah kerap kali gagal menjaga jarak , bahkan ikut larut secara emosional dengan dinamika kompetisi sosial politik dan konflik di wilayahnya, akibatnya liputan menjadi kurang berimbang. Di sisi lain, tekanan pasar, baik yang berupa ketatnya persaingan antarmedia maupun kehausan publik bawah terhadap tuntutan sensasionalitas berita, sering memperkeruh proses dan wajah liputan pers.
Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat sampai pada fungsinya sebagai  pengawas kekuasaan.
Kekuasaan keempat (the fourth estate), tidak berarti pers harus memposisikan diri "beroposisi" terhadap pemerintah atau "melawan" pemerintah. Kedudukan pers dalam konsep pilar keempat sama dengan parlemen, yang lebih menekankan pada sifat independensi atau kebebasan menyebarkan informasi dan pendapat tanpa rintangan dari pemerintah. Pers hanya bertanggung jawab secara yuridis kepada pengadilan, dan secara etika bertanggungjawab kepada organisasi wartawan.
Potensi tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite politik dan penyalahgunaan fungsi pers dalam proses Pemilu maupun Pilkada dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, yaitu minimnya profesionalisme.
Secara teoritik, profesionalisme dalam berita mensyaratkan beberapa kondisi, terutama objektivitas. Dalam konsepsi yang cenderung positivistik ini, definisi objektivitas dirumuskan dalam dua prinsip, yaitu kesesuaian dengan kenyataan (factuality) dan tidak memihak (impartiality). Prinsip factuality terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) dan relevan (relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H).Â
Keakuratan ini dalam praktiknya memerlukan kelengkapan (completeness) berbagai instrumen. Sementara itu, unsur-unsur yang digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi: (1) proximity psikografis, (2) proximity geografis, (3) timeliness, (4) significance, (5) prominence dan (6) magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai  news values. Prisip tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan neutral. Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan (McQuail, 2000: 196 -- 222).