Mohon tunggu...
Fithra Faisal
Fithra Faisal Mohon Tunggu... -

An ordinary man who believes the sky is attainable

Selanjutnya

Tutup

Money

Reformasi Institusi untuk Berangus Korupsi

14 November 2013   20:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:10 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Fithra Faisal Hastiadi

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UI

Dewasa ini publik mungkin semakin muak melihat berita nasional. Apa pasal? Berita mengenai korupsi, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan acap kali menghiasi media cetak dan elektronik. Hasil pencarian kata kunci melalui mesin pencari google menghasilkan 32,800,000 tautan dan berita untuk korupsi, 10,900,000 untuk pembunuhan, 6,130,000 untuk pemerkosaan, dan 1,150,000 untuk  perampokan. Dari data ini tentu akan sangat mudah untuk diambil kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara korupsi, surga untuk koruptor. Sebagian besar masyarakat bahkan berani menyebut bahwa korupsi adalah budaya dari masyarakat Indonesia. Jika memang benar demikian, maka sesungguhnya korupsi sangat sulit untuk dienyahkan.

Dalam buku History of Java, Raffles (1816) memaparkan beberapa aspek budaya Jawa yang  meliputi geografi, karakter masyarakat, insfrastruktur, sumber daya alam serta data komposisi penduduk. Buku ini mendapat sambutan besar dari masyarakat Eropa pada saat itu karena telah secara komprehensif menceritakan pulau Jawa. Salah satu hal uang paling menarik dari buku tersebut menurut Rahayu (2012) adalah mengenai karakter dari masyarakat Jawa (yang kemudian menjadi perilaku masyarakat Indonesia pada umumnya) adalah sifat  tidak suka berterus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Lebih lanjut Rahayu (2012) memaparkan bahwa Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan. Budaya ini kemudian diaksentuasikan dengan peranan VOC yang juga menumbuh suburkan perilaku korupsi  di seantero nusantara. Bukanlah sebuah kebetulan jika VOC kemudian runtuh, dan bukan juga sebuah kebetulan mengapa masyarakat Indonesia pada sangat mudah menjadi objek politik “divide et impera” model Belanda. Korupsi menjadi warisan sejarah yang melegenda.

Lantas, jika sudah sedemikian mengakar, apakah bisa korupsi diberantas? Acemoglu dan Robinson (2013) dalam bukunya “Why Nations Fail” menelanjangi akar kegagalan yang membuat suatu negara didera kemiskinan. Dalam penelusuran lintas zaman dan kawasan yang mereka lakukan,  didapati sebuah kesimpulan bahwa untuk mentransformasi sebuah negara dari keadaan terbelakang menjadi maju dibutuhkan transformasi politik institusional. Politik dengan institusinya mencakup kekuasaan dan kapasitas negara untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat Institusi ini kemudian menentukan bagaimana kekuasaan politik didistribusikan kepada warga serta memengaruhi sistem pendidikan yang dianut. Institusi politik akan menentukan arah institusi ekonomi. Interaksi keduanya menciptakan daya stimulasi bagi dunia bisnis, mendorong tumbuhnya dunia usaha yang kompetitif, kondusif, dan terbuka bagi individu untuk berpartisipasi dalam pengembangan bisnis. Lebih lanjut, Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa peran geografis dan cultural tidak mendapat porsi dominan dalam proses transformasi struktural sebuah negara. Sebagai contoh, Korea Utara dan Korea Selatan yang memiliki aspek kultural dan geografis identik namun pada perkembangannya memiliki tingkat kemajuan yang berbeda. Hal ini tentu karena perbedaan institusional. Di Korea Selatan, demokrasi menjadi sistem, undang-undang dan peraturan ditegakkan. Pendek kata,  hukum kedudukannya lebih tinggi dan besar dibanding penguasa sekalipun. Sebaliknya di Korea Utara, jika anda adalah Presiden, kerabat Presiden atau kroninya, maka anda menjadi orang yang tidak tersentuh hukum, hukum lebih kerdil dibanding dengan penguasa. Tajam untuk yang lemah, tumpul untuk yang sedang berkuasa. Secara lebih spesifik, Acemoglu dan Robinson menyaratkan ekonomi institusi yang inklusif (Inclusive economic Institutions) yang menciptakan insentif dan akses yang sama untuk masyarakat pada umumnya. Negara menjadi gagal jikalau negara tersebut hanya menyediakan akses dan kesempatan pada sekelompok elit.

Kembali ke Indonesia, dapatkah kita bebas dari kutukan korupsi? Jawabannya adalah tergantung kesungguhan kita dalam melakukan reformasi institusi. Institusi ini sendiri didefinisikan  “aturan main” dalam suatu kelompok masyarakat, yang sifatnya formal dan sengaja disusun untuk membatasi atau mengatur hubungan antar manusia yang ada dalam kelompok masyarakat tersebut. Institusi formal  ini  dapat berupa peraturan, regulasi, hukum perundangan. Namun pada kenyataannya, Indonesia tampaknya masih harus bekerja keras karena pada perkembangannya, telah terjadi proses de-institusionalisasi di Indonesia. Peran Komisi Yudisial dalam mengawasi kinerja Hakim Konstitusi berdasarkan UU no 22 tahun 2004 dengan gagahnya dipreteli oleh Mahkamah Konstitusi  (MK)pada tahun 2006. Kasus AM yang terkuak pada tahun ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari tidak terjamahnya MK. Kasus lembaga super celakanya juga terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), garda terdepan pemberangusan korupsi. Kinerja KPK yang seharusnya efisien, menjadi terkendala karena proses campur tangan politik. Hal ini terjadi karena KPK berjalan sendirian tanpa ada yang mengawasi.  Rendahnya kualitas institusi dapat dilihat dari indikator Rule of Law yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Secara spesifik, Indeks ini mengukur tingkat kepercayaan dan harapan terhadap tegaknya berbagai aturan hukum dalam masyarakat. Indeks ini terdiri berbagai indikator yang mengukur persepsi mengenai tindakan kriminal, kualitas peradilan, dan  penegakan kontrak atau perjanjian. Berdasarkan indeks ini, ironisnya peringkat Indonesia di Kawasan Asia Pasifik hanya setara dengan Laos, Kamboja, Myanmar dan Vanuatu.

Jika reformasi institusi terdengar terlalu klise, apakah ada jalan lain untuk keluar dari jeratan kultural ini? Acemoglu memberikan tiga pilihan, yang pertama adalah institusi, kedua adalah institusi dan ketiga adalah institusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun