Fithra Faisal Hastiadi
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UIEkonomi diskriminasi menjadi termasyhur karena kerja keras Gary Becker , seorang peraih nobel bidang ekonomi di tahun 1992. Ia memasukkan teori ekonomi untuk mengevaluasi efek diskriminasi pada pekerjaan dan gaji kaum minoritas. Ia membuktikan bahwa diskriminasi lebih merugikan perusahaan, karena akan menyebabkan kurang kompetitif dan banyak kehilangan konsumsi pasar.
Secara umum dapat kita katakan bahwa efek dari diskriminasi memang sangat merusak, tidak hanya dari sisi mental namun juga melibatkan pelbagai ongkos ekonomi sebagaimana telah dibuktikan oleh Becker. Segala bentuk diskriminasi telah mengambil menghilangkan kualitas potensial dari input produksi yang pada gilirannya memberikan kondisi ketidakseimbangan ekonomi.
Menurut Hamilton dan Carmichael, terdapat 2 (dua) bentuk diskriminasi, yaitu diskriminasi individual (mikro) dan institutional (makro). Sedangkan Pettigrew membedakan diskriminasi menjadi : diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung adalah tindakan yang membatasi wilayah tertentu untuk etnik lain, seperti pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan semacamnya. Sedangkan yang diskriminasi tidak langsung adalah dilaksanakan melalui penciptaan kebijakan/ peraturan yang menghalangi ras/ etnik tertentu.
Menurut Zastrow, diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antar manusia maupun komunikasi diantara mereka. Doob lebih jauh mengakui, diskriminasi merupakan perilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok, atau membatasi kelompok lain yang beruasaha memiliki atau mendapatkan sumber daya. Prasangka dipandang sebagai ideologi, dan diskriminasi adalah terapan ideologi tersebut.
Celakanya, praktek diskriminasi sangat jamak terjadi. Di Afrika selatan kita sempat melihat apartheid yang melegenda, di Yugoslavia kita menyaksikan pemberangusan etnis yang berujung pada disintegrasi, di Jerman kita melihat betapa politik diskriminasi telah membangkitkan nasionalisme semu yang berujung pada perang dunia. Di Jepang, praktek diskriminasi berjalan sekian lama melahirkan sebuah alergi terhadap orang asing (gaijin) meskipun akhirnya perilaku ini perlahan mulai hilang karena mereka mengalami gejala sakit demografi dalam bentuk “aging society”. Kondisi ini memaksa mereka untuk menerima limpahan pekerja asing demi menopang perekonomian mereka yang terus menunjukkan gejala pelambatan.
Melihat Indonesia, tampaknya praktik diskriminasi belum menunjukkan tanda-tanda berkurang sejak eskalasi konflik etnis yang menandai periode baru di Indonesia. Kerusuhan anti Cina yang terjadi pada Mei 1998 sebelum Presiden Soeharto jatuh. antara tanggal 13 dan 14 Mei tentunya telah membelalakkan mata. Bahkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta tanggal 23 Oktober 1998 mengatakan bahwa serangan-serangan menunjukkan pola-pola yang dapat teridentifikasi, yang bertujuan untuk meneror warga Cina agar mereka meninggalkan Indonesia, agar kedudukan ekonomi yang mereka tinggalkan dapat diisi oleh penduduk ‘asli’.
Dewasa ini, kita masih melihat secara terang benderang betapa nalar telah dirusak melalui penolakan terhadap Lurah Susan hanya karena dia menganut agama yang tidak mayoritas. Padahal sang lurah telah melewati serangkaian fit and proper test sehingga dia sangat layak untuk diberikan jabatan tersebut. Segala gebrakan ahok pun masih dinilai sumir hanya karena dia berasal dari etnis minoritas. Diskriminasi juga nampaknya tidak hanya terbatas pada unsur-unsur tradisional seperti suku, agama ras dan gender. Diskriminasi umur juga menjadi sebuah tren yang tengah menggejala. Yang muda dinilai belum layak berkuasa sementara yang tua sudah terlalu uzur, tergantung perspektif yang memiliki kepentingan. Kondisi ini, sebagaimana argumen Becker, mengkerdilkan pelbagai potensi ekonomi yang melekat pada objek yang didiskriminasikan.
Dalam konteks yang sederhana maka kita bisa melihat bahwa ekonomi diskriminasi bukanlah permasalahan individu lagi tetapi lebih sebagai permasalahan realitas sosial yang unik, dan mampu untuk mempengaruhi, membentuk, dan bahkan menentukan motivasi dan pola berpikir. Ekonomi diskriminasi dapat digambarkan sebagai sebuah pemenuhan kepentingan pribadi yang dihubungkan dengan kepentingan sosial. Dapat diambil sebuah asumsi bahwa ekonomi diskriminasi sebagai sebuah organisasi dapat membawa kita ke sebuah arah tertentu yang cenderung bias.
Dalam hal ini kita memandang bahwa setiap individu selalu berhitung mengenai untung rugi di dalam setiap keputusan yang dia ambil, manakah pilihan yang akan memberikan keuntungan paling besar. Sehingga dengan kata lain, manusia selalu memandang dan mencari cara untuk memanfaatkan apa yang dia miliki, dengan memperhatikan kemungkinan yang ada untuk mencapai kemakmuran. Memang, dalam jangka pendek diskriminasi memberikan sebuah keuntungan bagi para pelakunya dengan hilangnya kompetisi. Namun dalam jangka panjang, sebagaimana dibuktikan oleh Becker, kompetisi memberikan kebermanfaatan yang besar secara ekonomi. Dalam perspektif Weberian, solusi atas permasalahan ini adalah melalui sebuah instrumen rasional. Instrumen ini,tentunya mensyaratkan sebuah nalar yang objektif sehingga keputusan merupakan respon yang terbaik dari kerangka ekspektasi rasional. Celakanya, dunia masih dipenuhi oleh orang-orang yang berpikiran sempit dan pendek sehingga tidak mampu menerawang jauh kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H