Mohon tunggu...
Fithra Faisal
Fithra Faisal Mohon Tunggu... -

An ordinary man who believes the sky is attainable

Selanjutnya

Tutup

Money

Demo Buruh dan Dilema Kebijakan Ketenagakerjaan

14 November 2012   12:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:23 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Fithra Faisal Hastiadi

Direktur Eksekutif, Indonesian Progressive Institute

Staf Pengajar, Fakultas Ekonomi UI

Dewasa ini, demo buruh kian marak terjadi. Sebuah hal yang bisa dimaklumi mengingat tingkat kebutuhan hidup di Indonesia yang terus merangkak naik. Kinerja perkonomian yang cukup baik tampaknya belum mampu tersalurkan dalam bentuk kesejahteraan para buruh. Namun, dalam konteks makro, menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2011, buruh/pekerja/karyawan hanya meliputi 33% dari total penduduk usia produktif menurut status pekerjaan utama sementara sisanya lebih banyak berkutat di sektor informal. Berdasar fakta ini, sangat layak untuk kita telaah bagaimana efek dari demo buruh yang masif terhadap nasib pekerja di sektor informal.

UU Ketenagakerjaan

Dari perspektif ekonomi, tujuan utama dari peraturan atau regulasi adalah untuk mengkoreksi kegagalan pasar dengan segala distorsi yang mungkin ditimbulkannya. Dalam konteks ketenagakerjaan, regulasi dibuat berdasarkan konsensus para stakeholders nya. Secara umum ada 3 stakeholders, yakni pemerintah, industri dan pekerja (formal dan informal). Menurut Manning dan Roesad (2007), tercapainya konsensus sosial dalam aturan perburuhan pada negara berpendapatan rendah seperti Indonesia merupakan sesuatu yang sulit mengingat dua faktor berikut; (i) tingginya proporsi pekerja di sektor informal dan; (ii) rendahnya implementasi peraturan.

Dalam setiap aksi demonstrasi, tuntutan para buruh sepertinya tidak jauh-jauh dari kebijakan upah minimum, outsourcing, dan kontrak kerja yang terkandung dalam UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Celakanya, hal ini dapat berpotensi memperlambat penyerapan tenaga kerja disektor formal dengan semakin enggannya industri untuk mempekerjakan karyawan baru. Hal ini tentunya  memperbesar rasio pekerja yang beralih ke sektor informal dengan upah yang sangat rendah. Bahkan dalam jangka panjang, naiknya ongkos produksi akibat pemenuhan tuntutan tersebut memperbesar potensi industri untuk hengkang dari Indonesia. Pada gilirannya, hal ini  dapat menyulut ledakan penganguran serta semakin memperburuk nasib pekerja di sektor informal mengingat sektor ini adalah derived demand dari industri. Rendahnya kualitas tenaga kerja juga menjadi permasalahan tersendiri, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2012, rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah yaitu 47,87 persen, SMP 18,28 persen dan yang berpendidikan lebih tinggi termasuk perguruan tinggi hanya 9,72 persen.

Tanpa adanya afirmasi tuntutan pun, UU ketenagakerjaan Indonesia sudah termasuk salah satu yang paling ketat. Dalam sebuah studi Bank Dunia di tahun 2006, secara komparatif industri di Indonesia memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam hal mempekerjakan karyawan baru. Hal ini tidak lepas dari tingginya biaya pesangon dan juga kakunya kontrak kerja. Namun demikian, secara alami segala sesuatu yang terkait dengan benefit dari pekerja memiliki tingkat kekakuan yang cukup tinggi. Artinya, adalah sangat musykil kiranya untuk mempreteli dan mengurangi pelbagai benefit yang sudah tertera dalam UU 13 tahun 2003. Namun disisi yang lain, pemerintah juga harus mampu menaungi kepentingan industri dan juga pekerja di sektor informal. Pengalaman Jerman yang berhasil memangkas tingkat penganggurannya melalui reformasi UU ketenagakerjaannya dapat dijadikan contoh yang baik.

Dalam demo buruh yang teranyar, banyak yang mengeluhkan praktik outsourcing yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sehingga pekerja menjadi pihak yang cenderung dirugikan. Oleh karenanya tak heran jika serikat pekerja menyuarakan kritik keras terhadap pelaksanaan outsourcing yang melanggar hukum. Ada dari mereka yang menuntut agar diberlakukan moratorium untuk perekrutan pekerja outsourcing, bahkan ada pula yang secara tegas menuntut agar outsourcing dihapus. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya para buruh lebih menekankan pentingnya tingkat implementasi UU di lapangan. Namun yang patut digarisbawahi, kualitas regulasi di Indonesia belum cukup bisa diandalkan. Melalui data World Governance Indicator tahun 2011, tampak jelas bahwa peringkat Indonesia dalam hal implementasi regulasi masih berada dalam kelompok terbawah di wilayah asia pasifik. Indonesia hanya berada diatas negara-negara miskin seperti Laos, Myanmar dan Kamboja bahkan dikalahkan oleh negara yang marak akan konflik seperti Filipina dan Thailand. Celakanya, peringkat Indonesia belum beranjak jauh sejak tahun 1998 yang menandai era reformasi.

Koordinasi Lintas Departemen

Untuk menuntaskan pekerjaan ini, dibutuhkan koordinasi lintas departemen. Ini tentu bukan hanya monopoli dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) saja, tetapi juga merupakan fokus kerja dari kementerian yang lain. Kemenakertrans memang memiliki renstra yang cukup baik dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia dan ketenagakerjaan.  Dua poin yang layak menjadi fokus adalah  (i) Mendorong terciptanya kesempatan kerja yang layak , yaitu lapangan kerja produktif dengan perlindungan dan jaminan sosial yang memadai; dan (ii) menciptakan kesempatan kerja melalui program-program pemerintah. Pemerintah, melalui kementerian, diharapkan untuk dapat mengeluarkan kebijakan yang memberikan multiplier effect bagi penyerapan tenaga kerja. Demi tercapainya tujuan ini,  pemerintah diharapkan  dapat mengalokasikan belanja pemerintah yang lebih besar untuk fungsi ekonomi, khususnya pada sektor transportasi, industri, pertanian dan tenaga kerja. Belanja fungsi ekonomi yang hanya 1,3% dari PDB tahun 2012 dirasa belum cukup untuk menuntaskan masalah ketenagakerjaan di Indonesia.

Sebagai kesimpulan, UU ketenagakerjaan yang baik muncul apabila pembuat kebijakan dan para stakeholders mempunyai kemampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap terjadinya pelbagai tantangan ekonomi. UU ketenagakerjaan yang sifatnya terlalu fleksibel dapat berakibat pada tidak efektifnya UU tersebut dalam mencapai tujuannya . Tetapi UU ketenagakerjaan yang terlalu kaku juga tidak terlalu memberikan efek yang positif, yaitu adanya ketidakmampuan untuk secara penyesuain di lapangan bilamana diperlukan. UU yang lebih tepat untuk diterapkan adalah UU  fleksibel yang terukur, dimana UU  ini akan membantu membangun terjadinya kredibilitas kebijakan jangka panjang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun