“Kaen, pulang, yuk.” Kania membereskan buku-bukunya. Sedangkan mata Kaen tak beranjak sedikitpun dari bacaannya, serius. Dia malah membuka lembar selanjutnya.”Duluan.” Jawaban Kaen mengecewakan Kania. Jika seperti ini, terkadang Kania menyesal tak mendengarkan perkataan teman-temannya.
‘Dia itu orangnya cuek banget. Kamu kayak pacaran sama manusia es kutubuku aja’ belum lagi....
‘Cakep sih cakep, tapi dia kurang mengerti kalau cewek pengen diperhatiin.’ Nah, yang ini....
‘Mending cari yang lain aja, dimana ada cowok perhatian meski ya... gak sekeren dia, terima aja.’ Kania meninggalkan Kaen yang masih terpaku dengan bukunya. Namun dia meyakinkan hatinya bahwa dia tidak menyesal, karena Kaen selalu berbuat baik, tidak pernah berani menyentuhnya seperti kebanyakan cowok-cowok yang merasa keren. Kaen juga tak pernah berkata kasar padanya, hanya cuek dan sering menjawab dengan jawaban super singkat.
Seorang sopir taxi berkeliling mencari-cari seseorang. Di lehernya menggantung sebuah kertas, nama jemputannya, seperti di stasiun-stasiun saja. Tapi, hari gini masih dijemput seperti itu di kampus?
Rika berlari menghampiri Kania. “Ni, namamu, tuh” mata Kania terbelalak tak percaya, dia tak memanggil ataupun memesan taxi.
“Non Kania Kaen?” sopir tersebut mengacungkan papan nama di lehernya. Alisnya terangkat, Kania Kaen? Lama terdiam, akhirnya dia mengangguk. ”Iya.” Saat membuka pintu taxi, sebuket bunga mawar kuning tergeletak di atas tempatnya akan duduk. Wangi parfum khas Kaen tercium memenuhi taxi.
Masih di ruang kuliah, Kaen menon-aktifkan ponselnya. Matanya memang menatap lurus bukunya, namun sebenarnya pikirnya mengelana entah kemana. Yang intinya adalah Kania, gadis kesembilan belasnya. Dia memikirkan Kania yang kini mungkin tengah menangis. Ya, dialah penyebabnya. Semua itu bukan inginnya, lalu?
Dengan setengah linglung ia melajukan mobilnya, menghentikan di depan warung nasi uduk kesukaannya. Rasanya berbeda dengan nasi uduk yang lain. Penjualnya sampai hapal wajah dan pesanan Kaen, nasi uduk satu porsi, sambal tempe dibanyakin tanpa bawang goring. Jadi, baru saja Kaen duduk, nasi telah terhidang di hadapannya. Tempat itu memang favoritnya, namun tak ada satupun mantannya yang tahu akan hal itu. Hanya dia.
“Aduh, neng, mau makan siang?” gadis yang disapa neng mengangguk. Ibu pemilik warung menyodorkan piring berisi nasi uduk spesial dengan porsi berbonus. Mata gadis itu menyapu ruangan warung yang tak seberapa luasnya. Si Pemilik Warung mengerti apa yang sedang dipikirkan gadis itu.”Alhamdulillah, hari ini lagi ramai.” Mata tuanya mencari-cari tempat duduk kosong yang mungkin ditempati gadis itu.
“Itu, di samping langganan ibu saja, dia baik, koq.” Dengan wajah tersipu dia mengangguk, berterima kasih. Dia memutuskan mengikuti saran pemilik warung, daripada menunggu warung sepi. Lagipula dia sudah sangat lapar setelah mengerjakan tugas lapangan mewawancarai penduduk di wilayah kumuh ibukota.