Bukan hanya mereka yang bergelar sarjana pendidikan menjadi seorang pendidik dan pengajar. Dalam dunia mendidik menggunakan beribu teori tidak akan pernah berfungsi, jika tidak ada sebuah usaha untuk terjun mengenal satu persatu profil dari anak didik, diibaratkan api membara, kayu binasa. Pekerjaan akan banyak menghabiskan tenaga juga biaya, namun tak terlihat hasilnya. Begitu bayak dari mereka yang berasumsi bahwa lulusan Sarjana Pendidikan atau disingkat menjadi S.PD, dapat berkelana dimana saja.
Mereka mendapatkan peluang pekerjaan yang begitu mudah, ingin mendaftar di instansi dan lembaga diamanpun akan diterima. Dari sudut pandang profesi, seseorang lulusan sarjana pendidikan nyatanya banyak diterima oleh masyarakat. Tapi bagi seseorang pendidik, tidak sebatas gelar dengan tiga huruf saja, gelar S.PD setelah nama lengkap. Bukan menjadi persyaratan utama bagi pencerahan peradaban dimasa mendatang. Masih menjadi permasalahan untuk mereka yang menganggap bahwa sarjana pendidikan mampu mencetak generasi cemerlang di masa yang akan datang.
Apakah seseorang yang menyandang gelar S.PD hanya menjadi guru saja?, atau bergelut bersama pendidikan dan pengajaran demi memperbaiki kualitas pendidikan di setiap jenjang?. Tidak semuanya begitu, memang menjadi guru suatu jalan pintas untuk sarjana pendidikan. Apalagi yang baru saja mengabdikan dirinya di masayarakat. Tidak ada pilihan lain selain kiprah dalam dunia mengajar. Itu semua sangat lumrah, namun  sesungguhnya masa depan tidak serta-merta membutuhkan seorang pendidik, khususnya sarjana pendidikan.
Persyaratan utama menjadi seorang pendidik tidak harus dari lulusan sarjana pendidikan saja. Siapapun tak memandang bulu bisa menjadi seorang pendidik, begitu pula sebaiknya bagi sarjana pendidikan tidak harus mengabdi disekolah sebagai guru. Ternyata mereka bisa mengajar melalui tulisan, video, atau bisa juga berkarir lainnya tanpa harus bergelut didalamnya. Pada era ini tak jarang meremahkan bahwa jaminan berlangsungnya hidup di masa yang akan datang adalah menyandang sarjana pendidikan. Dimana saja mereka dapat merekam jejak hidupnya menjadi seorang guru. Apalagi mendapatkan iming-iming sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dan menjadi guru mendapatkan pahala yang sangat besar.
Mirisnya banyak masyarakat yang  berasumsi bawah lulusan sarjana pendidikan selalu menjadi guru. Tentu ini akan menjadi hantu bagi saya dan lulusan sarjana pendidikan diluar sana. Sarjana pendidikan dianggap tidak mampu merasakan pengalaman hidup terbaik lainnya untuk mengabdikan diri di masayarakat.
Ini menjadikan pengaruh keberlangsungan di dalam dunia pendidikan. Mimpi para pejuang di masa depan, patokan yang telah ditetapkan sangat susah untuk diubah, pada akhirnya guru menjadi pelarian terakhir jikalau melamar pada bidang yang lain tidak diterima. Mengajar dengan alakadarnya, menggugurkan tanggung jawab, memenuhi presentasi di sekolah sebagai alasan untuk menerima gaji. Terjadilah rutinitas sehari-hari tanpa didasarkan cita-cita utama sebelum melangkahkan diri dan bersumpah yang disaksikan oleh Tuhan. Bukankah guru berpengaruh dalam mencetak sebuah peradaban emas, sungguh hal ini sangat miris.
Jika didunia ini terpenuhi oleh manusia tanpa memiliki tanggung jawab untuk masa depan, hal ini sangat dipantasakan kalau ada yang beralasan untuk membolos sekolah dan tak mempan terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat. Menjadi guru tidak dikhususkan bagi sarjana pendidikan saja. Mendidik itu wajib bagi semua orang, siapapun boleh mendidik, tidak sepenuhnya di tumpahkan semua tanggung jawab kepada sarjana pendidikan.
Lantas bagi orang tua, guru mengaji, pedagang, kuli bangunan,pengrajin yang tidak menyandang gelar sarjana pendidikan tidak memiliki tanggung jawab untuk mendidik bagi anak dan cucunya?, hal ini lah menjadikan batasan yang membatasi diri hingga merusak kecerdasan dimasa depan anak, kecerdasan anak hanya diukur sesuai dengan nilai di sekolah. Para guru yang mendidiknya, segala tindak tanduknya diharapkan bisa mengubah anak didiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H