Mohon tunggu...
Fiter Antung
Fiter Antung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lebih senang disebut sebagai pemerhati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mentari di Atas Sydney (Episode 4)

23 Desember 2014   17:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:38 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 4

“Permisi, Saya pamit pulang !”. Elena bergegas berjalan. Jalur yang biasanya Ia lewati kali ini sedikit lengang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Tidak banyak orang berlalu-lalang. Leluasa Ia mempercepat gerak kaki untuk mengejar kereta listrik menuju rumah. Sambil terus melihat ke jam tangan, Elena memburu langkah menuju arah central station. Ada waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai tepat waktu hingga kereta menuju maroubra tiba. Perubahan jadwal transportasi di Sydney memang terjadi pada musim dingin. Satu jam lebih lambat dari waktu sebelumnya.

Memasuki musim dingin untuk sebagian wilayah Australia, terutama di Sydney, biasanya membawa berkah tersendiri bagi penjual makanan ala Timur Tengah. Warga Sydney kebanyakan menyantap makanan yang menyediakan kombinasi sayuran dan daging, sehingga mampu meningkatkan suhu tubuh untuk memberikan tambahan semangat saat bekerja.

Harusnya Elena bisa pulang satu jam lebih awal, namun banyaknya pembeli, Mr. Kariim menambah jam kerja hingga pukul enam sore.

**

Sepanjang lorong subway yang menembus jalan bawah tanah menghubungkan antara central station dengan chinnesse market, sepi dengan pengunjung. Barisan-barisan toko yang menjual beraneka keperluan rumah tangga kebanyakan sudah tutup. Biasanya pukul delapan atau Sembilan malam ada beberapa yang buka, namun kali ini hampir serentak mereka tutup.

Sepi terasa menggelayuti perasaan Elena. Matanya terus menatap kedepan memperhatikan satu dua orang yang berjalan berpapasan dengannya. Satu jam waktu tersita di tempat Ia bekerja. Artinya hanya ada waktu satu jam saja tersisa dirumah sebelum Ia kembali bekerja di tempat lain. Elena memang mengambil pekerjaan lain selain bekerja secara part time di Kedai Kebab.

“Hello,..It’s ok Dyna ?” Sapa Elena sesaat setelah tiba dirumah. Gerak tangannya cepat melepas sepatu dan kaos kaki. Segera Ia merebahkan badan di sofa. Penat sangat terasa. Berdiri sepanjang lima jam bukan hal yang ringan. Apalagi Ia dituntut selalu bergerak dan menyapa pembeli dengan senyuman.

“hmmm. Mestinya waktumu lebih banyak dirumah” Ujar Dyna sembari merapikan sepatu yang dipakai Elena. Dyna, wanita paruh baya yang sudah tiga tahun belakangan tinggal dan membantu pekerjaan di rumah Elena. Berperawakan gemuk. Rambutnya sebagian putih dan sebagian cokelat. Wanita keturunan India ini menjadi tempat Elena berkeluh kesah.

“Sejak kamu berangkat kerja tadi, panasnya belum juga turun. Aku sudah berikan obat yang biasanya Ia minum. Tapi selalu dimuntahkan.” Ujar Dyna sembari membuatkan teh hangat untuk Elena. Suara dentingan gelas yang beradu dengan sendok seakan memberikan irama merdu. Mata Elena sesaat terpejam. Sebenarnya jelas suara Dyna Ia dengar, namun berusaha untuk tidak diperdulikannya.

“Sekarang tidur dikamar. Sepertinya dia kangen kamu” Ujar Dyna meletakkan teh di meja. Ruangan sempit apartemen tempat Elena tinggal memang tidak banyak berisikan barang. Ruang tamu yang langsung tergabung dengan pantry, seperti biasanya rumah warga Sydney, hanya berisikan satu sofa panjang untuk 3 orang dengan meja oval didepannya. Televisi flat tertata manis di dinding. Di sudut dekat pintu masuk ada pot porcelen kembang tinggi, hadiah dari teman. Lampu gantung ukuran kecil dan berbentuk sederhana menjadi penghias. Selera interior Elena yang Ia desain sendiri memang cukup tinggi. Tidak banyak ornamen ataupun mebel yang ditempatkan. Ruangan sempit ini tampak luas dengan sebuah kaca berukuran besar menempel di dinding belakang sofa. Antara ruang tamu dengan pantry ada partisi ruangan dari meja buffet yang diatasnya terpajang foto-foto kenangan.

Teh buatan Dyna dibiarkannya . Bergegas Ia bangun dan menuju kamar. Perlahan pintu di buka. Langkahnya sedikit menjinjit menuju ranjang. Enggan membangunkan sosok mungil yang terbaring lesu. Lelah seketika hilang. Di tepi ranjang Elena merebahkan diri menghadap putri kecilnya yang masih terpejam. Tampak wajahnya pucat. Tertutup selimut tebal berwarna kuning, warna kesukaan Deira.

“Hai” Pelan suara Elena menyapa Deira. “I’m here darling ?!”. Sambil tangannya mengelus manja kepala Putri semata wayangnya. Terasa hangat saat tangan Elena menyentuh dahi Deira. Sejak pagi Ia berangkat kerja, suhu badan Deira tidak juga turun. Padahal obat yang diberikan dokter sudah Ia berikan kepada Dyna dan selalu di minumkan. Kali ini Elena tak mampu menahan perasaannya. Matanya mendadak memerah. Perlahan butiran bening mengalir.Diambilnya jemari tangan Deira. Ia cium dan ditempelkan di pipi. Bibirnya sedikit bergetar.

“Mom?!” Deira terbangun. Rupanya tanpa sengaja air mata Elena jatuh di jemari tangan Deira dan membangunkannya. “Mama bawa candy?!” Ujar Deira bermanja. “Yup Honey ! your favorite…Cokelat Candy, right!?” Elena tersenyum. Satu kotak cokelat putih bergambar putri salju diberikan Elena kepada Deira. Senyum manis tersimpul dari bibir pucat anak kecil berusia empat tahun ini.

“Hug me mama..!” Sembari Deira merentangkan tangan mungilnya. Pelukan hangat. Hahh. Kembali tetesan air mata Elena jatuh. Kali ini perasaannya lebih mendalam. Dipeluknya Deira lebih erat. Emosinya memuncak.

“Mama nangis?”. Elena menggeleng. “Mama kangen Deira aja sayang” Elena menyeka air matanya. Hening sesaat.

**

Dentuman music dari berbagai sudut menghiasi deretan panjang Fathedale Road. Cahaya lampu berkilauan. Pekik suara bermacam genre alunan nada terdengar tidak beraturan. Campur aduk. Pun dengan manusia-manusia yang berkumpul disekitar pedestrian way. Masing-masing membentuk komunitas kecil. Perempuan dan lelaki bergabung menjadi satu. Berceloteh ringan, tertawa bersamaan. Lalu lalang kendaraan menambah bising suasana sepanjang jalan ‘malam’ kota ini.

Disudut salah satu toko. Diantara gang kecil pemisah jalan. Berdiri seorang wanita cantik. Berbusana hitam panjang. Garis terpotongtepi longdress memanjang hingga panggal paha. Make up tebal dengan polesan bibir merah menyala. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai panjang menyamping. Di salah satu jemari lentik tangannya terselip batangan rokok yang baru saja dibakar. Sepatu hak tinggi warna senada dengan bajunya menambah kesan seksi.

Langkahnya gemulai menyapa setiap pengendara yang mampir tepat di depan toko Ia berdiri. Senyum manis selalu tersungging. Sedikit godaan dan rayuan gombal Ia lontarkan hingga sang lelaki mau diajak masuk ke dalam toko.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun