Mohon tunggu...
Fiter Antung
Fiter Antung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lebih senang disebut sebagai pemerhati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mentari Diatas Sudney (Episode 2)

8 Desember 2014   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Langkahku gontai menaiki anak tangga kantorku. David sudah duduk di meja kerjanya. Kami berbeda ruangan. Aku ditempatkan di lantai atas yang juga sekaligus sebagai gudang penyimpanan barang-barang kiriman. Ruangan dilantai dua ini tidak terlalu luas. Ukurannya kurang lebih delapan kali Sembilan meter. Ada empat orang yang bekerja di lantai dua, aku, Hilda Ngo, seorang wanita keturunan chinnesse yang menjadi warga Negara Australia, Lenin Svarktov, seorang Rusia dan juga sudah menjadi warga Negara Australia, serta Jason Healy, asli warga Negara Australia. Meja kerja kami, masing-masing dipisahkan dinding setinggi satu setengah meter, sehingga masih bisa melihat rekan kerja yang lain. Untuk ruangan kerja hanya menggunakan empat meter ruangan, sisanya digunakan untuk tumpukan barang-barang kiriman dari dan ke luar negeri. Ada Stuart, sebagai mandor dan 3 orang anak buahnya yang bertugas mengatur barang-barang tersebut. Tapi mereka tidak selalu berada dilantai atas. Kebanyakan barang sudah ditempatkan di lahan parkir dan siap untuk didistribusikan.

Meja kerjaku terletak di dekat tangga naik dan membelakangi dinding kaca besar. Jika sedang santai, aku sering duduk melamun memandang kearah luar jendela. Karena dari jendela ini bisa leluasa melihat pemandangan diluar. Terkadang sambil menyerup cappuccino panas yang dibuatkan oleh Hilda, aku menikmati music easy listening dan mulai bermimpi tentang kampong halaman. Tentang Umi yang saat ini tinggal sendiri di kampung halaman kami, desa Trutung, tanjung Balai. Ohh, Umi, wanita setengah baya yang sudah kuanggap sebagai ibuku. Ya, aku belum pernah melihat ibu kandungku. Setahuku, ibu kandungku sudah tiada sejak aku dilahirkan. Menurut Umi, demikian aku biasa memanggilnya, saat aku berusia dua hari, ibuku mengalami pendarahan akibat melahirkan dan meninggal dalam perjalanan menuju puskesmas terdekat. Dikampung kami, saat itu tidak ada dokter atau perawat . hanya dukun beranak yang menolong kelahiranku, 25 tahun yang lalu. Beliau tidak sempat diselamatkan, karena jarak untuk mencapai puskesmas dari kampung kami ke kota terdekat harus ditempuh selama 6 jam perjalanan. Itupun jalan yang dilalui adalah jalan milik perusahaan yang masih terbuat dari tanah keras, tanpa aspal dan berliku. Akupun tidak tahu persis garis keturunan kami. Banyak hal yang aku tidak tahu tentang keluargaku. Ayahku, kupanggil Abah, setelah ibu meninggal, tidak pernah punya keinginan untuk menikah lagi. Beliau sudah bersumpah didepan makam ibu, bahwa beliau akan membesarkan aku dan merawatku sesuai kemampuannya. Janji sehidup semati dituntaskan abah setahun yang lalu, beliau meninggal karena paru-paru basah dan komplikasi akut. Mungkin akibat pekerjaan beliau sebagai supir angkutan sayur.

“Dafi, Call for you..!” Hilda memanggilku.
Bergegas aku mengangkat telpon di mejaku. “Yes, Dafi speaking, who is this?”
“Wuy, sombong kau ya wak…!! belagak pula kau..!” suara dari seberang, seakan kukenal.
“Ahh..hehehe..siapa ini wak ?” cengirku, masih belum bisa menebak siapa pemilik suara ini.
“Adoh wak..belum genap seminggu kau di luar negeri, lupo nian kau ama tanah air !” jawabnya.
“hahahahha..Rafiq..kau ini wak?” ya, kukenali suara ini. Rafiq, teman mainku di kampong.
“Iyo laa..apo kabar dindaku?” rafiq menyapaku dengan ungkapan akrab yang biasa kami lontarkan di kampong, terutama buat karib yang memang sangat dekat. Sudah seperti saudara kandung.
“Baik, wak, cak mano kau ? eh..darimana kau tau nomor kantor ku wak?” tanyaku.
“Ha-ha-ha, macam tak kenal aku..kau ini !”..Yanto…Dia yang kasih aku nomor kantormu.” Jawab Rafiq.

Aku dan rafiq terlibat obrolan ringan dan hangat. Rafiq menelpon dari rumahnya langsung di Tanjung Balai. Ya, Ia kini sukses dengan usahanya. Rafiq membuka ternak ayam petelor dan sukses sebagai distributor ke seputar kota Tanjung balai. Ku tahu Ia memang seorang yang gigih bekerja. Semua pekerjaan selalu dicobanya. Mulai dari membuka bengkel motor, walaupun akhirnya tutup, hingga mencoba peruntungan sebagai penampung besi bekas. Karibku yang satu ini memang beda. Kadang aku kurang setuju dengan caranya memperoleh uang. Terkadang hal yang tidak lazim juga ditempuhnya untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi aku tidak pernah mau ikut campur soal itu. Aku yakin rafiq juga tau, namun pura-pura tidak tahu. Semoga suatu saat Ia bisa berubah.

Dari informasi Rafiq, ternyata Yanto berhenti bekerja di perusahaan induk kami. Dia memutuskan pulang kampung dan membuka toko kelontongan. Rafiq tidak menceritakan alasan Yanto kenapa mengundurkan diri. Tapi dari nada bicaranya, ku tahu ada masalah antara Yanto dengan perusahaan. Rafiq juga turut membantu modal awal bagi Yanto untuk membuka toko.
Hahh, baru seminggu aku meninggalkan tanah air, banyak hal besar yang terjadi. Namun ada yang membuat diriku tidak enak. Rafiq mengabarkan perihal Umi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun