Indonesia Barokah adalah produk media alternatif dan bagian dari output sebuah proses berdemokrasi. Konsep asalnya sederhana, siapa pun memiliki hak bermedia baik sebagai konsumen maupun produsen. Kasus yang terjadi kepada Serat.id dan Indonesia Barokah serupa tapi tak sama. Dua media alternatif ini memiliki platform yang berbeda. Yang satu, media cetak yang penyebarannya masif ke masjid-masjid. Yang satu lagi, menggunakan jaringan komunikasi elektronik untuk berbagi berita. Terlepas dari konten yang telah disebarkan oleh mereka, mari kita dudukan masalah pada tempatnya. Reformasi bermedia telah memberikan ruang bagi setiap warganegara untuk menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Media alternatif menawarkan platform media yang jangkauannya dari skala nano, nasional sampai global. Kualitas proses medianya ada yang amatir, semi-profesional dan profesional. Terdapat empat kategori media alternatif yang disampaikan oleh Sandra Jeppesen (2016) yaitu media budaya (Dick Hebdige), media komunitas (Clemencia Rodiguez), media kritis (Christian Fuchs), dan media radikal (John Downing).
Karakteristik utama dari media ini ialah konten alternatif, bebas birokrasi, non-komersial, dan partisipasi khalayak dalam proses media. Pada umumnya praktisi media alternatif bekerja sebagai sukarelawan. Kalaupun dibayar, upah mereka sangat rendah. Di tengah keterbatasan sumber daya, ramai diantara mereka yang berjuang untuk menebar kebaikan. Mereka ada dikala media arus perdana tidak ada.
Kompleksitas media arus perdana membuat ekosistem media di Indonesia memerlukan media alternatif untuk mengisi ruang yang belum terisi seperti di daerah perbatasan, daerah rawan gempa, dan daerah konflik. Sudikah media arus perdana menetap dan merajut benang sosial di daerah-daerah ini? Mengapa kita tidak biarkan saja media alternatif hidup berdampingan bersama media arus perdana? Ibarat tangan kanan dan kiri, saling melengkapi dan saling membantu.
Apakah kita perlu samakan aturan bagi media arus perdana dan media alternatif? Media alternatif lahir karena inisiasi kebersamaan para warga untuk berfikir kritis dan peduli terhadap perubahan. Ruang diskusi kritis ini tidak perlu dibatasi dengan berbagai aturan seperti berbadan hukum karena pengagasnya kebanyakan berasal dari orang yang terpinggirkan. Jika kita merasa bahwa demokrasi adalah pesta bersuara yang bisa dinikmati oleh semua warga negara, mengapa perlu mempidanakan media alternatif? Akui sajalah, kita perlu media alternatif untuk alasan sederhana; giving voice to the voiceless.
Kemudian bagaimana cara menata media alternatif? Penataan media alternatif dapat dilakukan dengan cara pemetaan (media mapping) yang dimulai dari skala lokal lalu berlanjut di skala nasional. Radio komunitas sudah mendapatkan tempat yang pertama dalam proses pemetaan ini. Eksistensinya sudah diakui oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Kerja cerdas dan keras dimulai dengan mengidentifikasi buletin, majalah, jurnal, buku, media daring alternatif secara terencana dan terukur. Proses pengembangan media alternatif ini juga sangat ditentukan dari partisipasi aktif citizen as journalist. Mereka tidak hanya diberi hak untuk membuat media dan memperoleh pelatihan bermedia tetapi juga dituntut kewajibannya untuk mendaftarkan media mereka ke Dewan Pers.
Miris jika Dewan Pers menolak menjadi mediator bagi dua kasus ini. Peristiwa ini menguji peran krusial badan yang menyelidiki berbagai keluhan publik terkait pers. Mungkin Dewan Pers terlupa bahwa implikasi dari demokrasi bukan hanya lahirnya media arus perdana tetapi juga media alternatif. Lalu kemana kah media ini harus berlindung jika sang lembaga pelindung menolak untuk melirik perkembangan media ini yang rooted to soar?
Sebut saja, media alternatif berbasis agama seperti majalah Berita Umat yang memainkan perannya sebagai sarana komunikasi dan solidaritas umat katolik tanpa menghilangkan kepeduliannya terhadap harmonisasi dan toleransi umat beragama di Indonesia. Uniknya lagi, media yang tersebar di Bogor ini juga peduli dengan nasib kelompok marginal khususnya warga disabilitas. Sanggupkah media arus perdana meniti "jalan lain" ini ?
Mari kita buka topeng Indonesia Barokah. Ternyata media cetak ini adalah hasil dari proses berdemokrasi di Indonesia. Tabloid ini hanyalah media alternatif yang mungkin akan kita temui pada pemilu berikutnya. Maka, pantaskah dipidanakan? Cukup identifikasi pelakunya lalu biarkan Dewan Pers melakukan tugasnya dengan cara mengakui mereka sebagai bagian dari pers alternatif.
Kapabilitas Dewan Pers diuji dalam menyikapi perubahan ekosistem media nasional. Ombudsman ini diharapkan mampu mengambil inisiatif untuk merevisi kebijakannya dan mengambil peran sebagai Bapak yang menasehati bukan malah membiarkan anaknya dihukum tanpa mengerti kesalahannya. Apalagi, UU ITE pun seolah tak memihak pada kehadiran "anak baru gede" ini. Anak ini dituntut bermain secara profesional padahal belum masanya. Oleh sebab itu, bimbinglah pendatang baru ini dan sampaikan padanya: "Di luar sana, dunia amat kejam. Bersikaplah bijaksana, bertuturlah secara santun, dan berceritalah dengan fakta".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H